Tanya:
Bolehkan taqlid dalam beragama? Apa saja syarat seseorang boleh mentarjih? (Khaerul Anam, Jakarta)
Jawab:
Wa’alaikum salam
Di masyarakat, persoalan taklid ini umum dilakukan. Banyak alasan yang dilontarkan oleh mereka sehingga mereka memilih untuk taklid saja. dalam pemikiran Islam, tidak semua ulama sepakat tentang hukum taklid. Ada yang membolehkan, ada juga yang melarang secara mutlak.
Namun, apakah sesungguhnya taqlid itu? Taqlid berasal dari kata qallada, yang artinya bergantung. Dikatakan taqlid karena seseorang bergantung kepada orang lain. Orang yang selalu bersandar dan bergantung kepada pendapat orang lain namanya muqallid.
Berikut ini merupakan pendapat soal hukum taqlid:
Taklid tidak dibenarkan
Ini adalah pendapat kelompok qadariyah. Bagi mereka, melakukan nazhar atau berfikir untuk mengetahui suatu kebenaran hukumnya wajib bagi siapapun. Tidak ada bedanya bagi orang awam maupun mujtahid. Mereka berpegang pada dalil berikut:
وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui. (QS. Al-Baqarah: 151)
Ayat di atas menjelaskan bahwa kita tidak diperkenankan berkata terhadap sesuatu yang tidak kita ketahui. Dengan kata lain, ini melarang kita melakukan taklid karena taklid merupakan bentuk kegiatan yang mengamalkan sesuatu yang tidak kita ketahui.
وَكَذَلِكَ مَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَذِيرٍ إِلا قَالَ مُتْرَفُوهَا إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُونَ (23) قَالَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْدَى مِمَّا وَجَدْتُمْ عَلَيْهِ آبَاءَكُمْ قَالُوا إِنَّا بِمَا أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَافِرُونَ (24) فَانْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَانْظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ
Artinya: Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka. () Maka Kami binasakan mereka maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan itu. (QS. Az-Zuhruf : 24-25)
Ayat di atas secara jelas melarang umat terdahulu untuk hanya sekadar ikut-ikutan kepada nenek moyang. Akibat sikap mereka yang ikut-ikutan ini, maka akhirnya mereka sesat. Mereka kafir seperti para pendahulu mereka. Taqlid ini ternyata dicela oleh al-Quran.
Hadis Rasulullah saw:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Artinya: Menuntut ilmu itu wajib kepada setiap muslim (HR. Ibnu Majah)
Hadis di atas memerintahkan kepada kita bahwa menuntut ilmu karena ia hukumnya wajib. Ini artinya melakukan nazhar atau berfikir untuk mencari kebenaran hukumnya wajib. Mafhum mukhalafahnya, taklid dilarang.
Taqlid hukumnya boleh
Jumhur ulama berpendapat bahwa taqlid bagi mereka yang tidak mempunyai kemampuan untuk berijtihad hukumnya boleh. Dalil yang dijadikan rujukan adalah sebagai berikut:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Artinya: Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui“. QS. An Nahl: 43.
Ayat di atas secara jelas memerintahkan kepada kita untuk bertanya akan sesuatu yang tidak kita ketahui kepada orang lain yang lebih tau. Ini artinya, taklid dibolehkan. Dalil Akal:
1. Para sahabat berijmak bahwa orang awam dibolehkan untuk bertanya kepada para mujtahid.
2. Ijtihad adalah persoalan yang tidak ringan. Jika orang awam diwajibkan untuk berijtihad, tentu ini akan memberatkan mereka. Padahal Allah tidak memberatkan seorang hamba di luar batas kemampuannya. Firman Allah:
لاَ يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْساً إِلاَّ وُسْعَهَا
Artinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.
Perkataan para ulama
Berikut perkataan para ulama terkait taqlid:
1. Iz Ibnu Abdussalam dalam kita Qawaaidul Ahkam berkata, “Tugasnya orang awam ya taqlid, karena ia tidak mampu untuk mengetahui hukum syariat dengan cara berijtihad”.
2. Ibnu Taimiyah dalam kitab al-Muswaddah berkata, “Secara umum, berijtihad hukumnya boleh, sebagaimana bertaqlid juga hukumnya boleh. Bagi yang sanggup berijtihad, boleh dia berijtihad, sementara bagi yang tidak bisa berijtihad, boleh baginya untuk taqlid saja.”
3. Imam Syathibi dalam kitab al-I’tisham berkata, “Jika seorang muqallid sama sekali tidak mempunyai ilmu, maka ia harus punya pegangan orang alim yang bisa dijadikan contoh teladan”. Imam Syathibi, dalam kitab Muwafawatnya juga berkata, “Fatawanya seorang mujtahid itu, statusnya sama seperti dalil hukum bagi seorang mujtahid”. Maksudnya, dalilnya orang awam, ya perkataan seorang ulama.
Saya sendiri memilih pendapat ini karena lebih kuat dan lebih memudahkan bagi umat Islam. Meski taqlid dibolehkan, namun para ulama memberikan batasannya, di antaranya seperti yang dikatakan oleh imam Syathibi dalam muwafaqatnya adalah si muqallid harus mengetahui bahwa orang yang dia ikuti, benar-benar orang alim. Jika yang diikuti hanya orang biasa dan tidak mempunyai ilmu sama sekali, maka ia tidak diperkenankan untuk taqlid kepadanya.
Selain itu, seorang yang taqlid juga dilarang untuk bersikap fanatik kepada gurunya. Sikap fanatik ini akan berdampak buruk baik kepada dirinya maupun kepada masyarakat secara umum. Wallahu a’lam.
(Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M)
===
Sisihkan sebagian harta untuk membangun istana Anda di surga dengan berwakaf untuk Pondok pesantren Almuflihun ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +20112000489 atau +628981649868 (WA)