Tanya:
Assalamualaikum ustadz, Mau tanya jika seorang istri mengeluh tidak kuat karena harus menjadi pemikir utama dalam mencukupi nafkah keluarga akibat suami yang tingkat pendidikan dan wawasannya berada jauh dibawahnya, sehingga setiap permasalahan rumah tangga, anak, maupun kebutuhan materi selalu istri yang mencari solusi, berusaha mencukupi dan memenuhi. Apakah boleh istri menggugat cerai suami, karena sudah bertahun-tahun suami tetap tidak berusaha mengembangkan dirinya, baik secara wawasan agama maupun kemampuan mencari nafkah, dengan alasan waktunya habis untuk bekerja sebagai buruh. Sementara istri sudah berusaha memfasilitasi supaya suami bisa upgrade dirinya menjadi lebih baik dalam hal agama dan kemampuan menafkahi. Terimakasih atas jawabannya, Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh (Aulia Syams, Denpasar)
Jawab:
Wa’alaikum salam
Menafkahi istri adalah kewajiban agama sebagaimana firman Allah berikut:
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allâh telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. [An-Nisâ/4:34]
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf”. [Al-Baqarah/2:233]
Hanya saja, tidak semua suami mempunyai kemampuan untuk memberikan nafkah lebih kepada istri dan keluarganya. Ada orang yang sudah bekerja keras, namun penghasilan tetap pas-pasan. Dalam kondisi seperti ini, hendaknya istri bersabar dan bersifat qana’ah menerima terhadap apa yang diberikan suami. Hal ini sesuai dengan firman Allah berikut:
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ ۖ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ ۚ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا ۚ سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang di sempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allâh kepadanya. Allâh tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekedar apa yang Allâh berikan kepadanya. Allâh kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”. [Ath-Thalaq/65:7]
Juga firman Allah berikut:
وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ
Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula). [Al-Baqarah/2:236]
Talak sendiri sesungguhnya dibolehkan oleh agama seperti firman Allah berikut:
أَيُّهَا النَّبِيُّ إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar).”
ٱلطَّلَـٰقُ مَرَّتَانِۖ فَإِمۡسَاكُۢ بِمَعۡرُوفٍ أَوۡ تَسۡرِیحُۢ بِإِحۡسَـٰنࣲۗ وَلَا یَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَأۡخُذُوا۟ مِمَّاۤ ءَاتَیۡتُمُوهُنَّ شَیۡـًٔا إِلَّاۤ أَن یَخَافَاۤ أَلَّا یُقِیمَا حُدُودَ ٱللَّهِۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا یُقِیمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَیۡهِمَا فِیمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ تِلۡكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَعۡتَدُوهَاۚ وَمَن یَتَعَدَّ حُدُودَ ٱللَّهِ فَأُو۟لَـٰۤىِٕكَ هُمُ ٱلظَّـٰلِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al Baqarah 229)
Hanya saja, talak bukanlah pilihan yang tepat sehingga agama menganjurkan agar talak tidak terjadi. Hal ini sesuai dengan sabda nabi Muhammad saw:
عَنِ اِبْنِ عُمَرَ – رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( أَبْغَضُ اَلْحَلَالِ عِنْدَ اَللَّهِ اَلطَّلَاقُ
Artinya : Dari Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah ialah cerai.” Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah. Hadits shahih menurut Hakim. Abu Hatim lebih menilainya hadits mursal. (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah)
Talak akan berpengaruh kepada keluarga dan anak-anak. Ia bukan persoalan sepele dan dampaknya ke mana-mana. Maka jika ada masalah bisa saling komunikasi karena kekurangan komunikasi sering menimbulkan masalah.
Jika kondisi sudah akut, bisa meminta bantua dua keluarga seperti firman Allah berikut:
وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam (juru damai) dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu berkamsud mengadakan perbaikan, niscaya Allâh memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allâh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [An-Nisâ/4:35]
Kita pun tidak bisa memaksakan pengetahuan seseorang. Karena kadang suami bekerja di luar rumah seharian, dan pulang sangat lelah. Maka dari itu, agama sangat menghormati peran suami ini dan meminta istri untuk taat kepada suami. Bahkan ketaan istri ada suami, jaminannya adalah surga sebagaimana sabda nabi berikut:
أَيُّمَا امْرَأَةٍ مَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَنْهَا رَاضٍ دَخَلَتِ الْجَنَّةَ
“Wanita mana saja yang meninggal dunia lantas suaminya ridha padanya, maka ia akan masuk surga.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah dan Abu Isa Tirmidzi
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِى الْجَنَّةَ مِنْ أَىِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benar-benar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban)
قِيلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ قَالَ الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasai dan Ahmad).
Taat dan patuh kepada suami ini hukumnya mutlak, baik suami lebih pintar atau tidak. Karena pekerjaan suami di luar rumah, itu bertaruh nyawa. Maka Allah berikan kemulyaan besar kepada suami. Berkomunikasilah dengan baik dan jangan menjadikan talak sebagai solusi. Wallahu a’lam.
(Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M)