Sudah menjadi fitrah manusia, bahwa laki-laki akan selalu membutuhkan wanita begitu pula sebaliknya. Keduanya dapat hidup berdampingan secara serasi dan seimbang serta saling melengkapi kekurangan pihak lain. Dalam al-Qur’an Allah Swt., berfirman:
هُنَّ لِبَاسٌ لَكُمْ وَأَنْتُمْ لِبَاسٌ لَهُنَّ
Artinya: “Mereka adalah pakaian bagimu dan kamu adalah pakaian mereka” (QS. Al-Baqarah: 187).
Allah menciptakan manusia secara sempurna. Manusia adalah makhluk terbaik di jagat raya. Manusia diberi anugerah insting dan akal pikiran. Dengan insting dan akal pikiran, antar sesama manusia dapat saling mengenal. Sebagaimana firman Allah Swt., yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurât: 13).
Dengan insting dan cinta terhadap lawan jenis, manusia dapat melanjutkan keturunan, tentu harus dengan jalan yang dikehendaki Allah Swt.. Namun jika manusia kurang pandai dalam mengendalikan insting yang Allah anugerahkan kepadanya manusia mudah terjerumus ke dalam lembah dosa.
Pergaulan bebas yang sudah sangat menggejala belakangan ini, akibat manusia terlalu mengumbar hawa nafsu. Manusia tidak pandai menggunakan insting sesuai perintah Allah. Ini menimbulkan berbagai dampak negatif, baik secara psikologis sosial ataupun kesehatan. Banyak penyakit mematikan yang muncul akibat sikap manusia tersebut. Belum lagi bayi-bayi yang dibuang di tong sampah. Jika ibunya masih punya sikap lemah lembut dan bersedia mengasuh anaknya, pun akan mengakibatkan tekanan psikis yang mendalam baik bagi si ibu atau bagi si anak.
Dari sini kita perlu mengkaji kembali mengenai tata nilai dan hukum Islam yang mengatur masalah insting tersebut. Onani adalah permasalahan umum yang berkaitan dengan insting dan membutuhkan jawaban syar’i. Ini karena onani sering terjadi khususnya di kalangan para pemuda. Secara hukum pun, onani masih terdapat silang pendapat di kalangan para ulama. Keduanya sama-sama menggunakan argumentasi, baik yang berasal dari nas ataupun akal. Di bawah ini, penulis mencoba untuk mengupas hukum onani sesuai dengan pandangan para ulama, kemudian mentarjih pendapat yang dianggap lebih kuat.
Pembahasan
Pengertian Onani
Onani atau masturbasi (al-‘âdah al-sirriyah), adalah seseorang memaksa untuk mengeluarkan mani tanpa melakukan jimak, baik dilakukan dengan tangan atau dengan alat lain. Menurut Fayumi dalam kitab al-Misbâh, onani adalah mengeluarkan mani tanpa melakukan jimak sampai mani tersebut memancar atau keluar. Menurut Ibnu Hazm dan al-Hasan, onani adalah mengurut zakar hingga mengeluarkan mani.
Onani disebut juga dengan khadhkhadhah, jildu ‘umairah, al-‘âdah al-sayyi’ah, al-istiqshâ’ dan al-istimnâ’. Khadhkhadhah bisa berarti menggerakkan air, atau juga mengeluarkan air mani dengan tangan. Disebut al-‘âdah al-sayyi’ah, karena pada umumnya orang yang melakukan onani akan menjadi kebiasaan dan hobi bagi dirinya, serta sering dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Menurut Abdullah al-Idrisi, disebutkan menggunakan tangan, karena umumya onani dilakukan dengan tangan.
Kesimpulan dari berbagai definisi di atas adalah bahwa khadhkhadhah, jildu ‘umairah, al-‘âdah al-sayyi’ah, al-istiqshâ’ dan al-istimnâ’ memiliki satu makna, yaitu mengeluarkan mani tanpa melakukan jimak.
Pandangan Hukum
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum onani. Jumhur ulama seperti Syafi’iyah, Malikiyah, sebagian dari Hanafiyah mengatakan bahwa onani diharamkan. Sementara Ibnu Hazm, Imam Ahmad dan sebagian dari Hanafiyah membolehkan, hal ini berdasarkan dari dalil nas dan akal.
1. Onani Adalah Mubah
A. Dalil Nash
1. Firman Allah Swt:
فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya: “Padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya untukmu.” (QS. Al An’âm: 119)
Secara jelas Allah mengatakan bahwa sesuatu yang diharamkan telah dijelaskan secara rinci. Jika dilihat lebih lanjut, tidak ada satu nash pun yang secara eksplisit mengharamkan onani.
2. Firman Allah Swt:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Artinya: “Dan tidaklah Tuhanmu lupa” (QS. Maryam: 64)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa Allah sekali-kali tidak akan lupa untuk memberikan ketentuan hukum pada hamba-Nya. Kenyataannya, mengenai haramnya onani tidak disebutkan oleh nas, baik al-Qur’an maupun Sunah, ini menunjukkan bahwa onani dibolehkan.
3. Firman Allah Swt:
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ () إِلَّا عَلَىٰ أَزْوَاجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minîn: 5-7).
Pemahaman dari ayat di atas adalah:
1. Allah mengizinkan seorang mukmin untuk melakukan hubungan seksual dengan istri dan budaknya, sementara hubungan seksual selain mereka diharamkan. Jadi jelas bahwa konteks ayat tersebut adalah tentang perzinahan. Artinya, orang-orang yang melampaui batas adalah orang-orang yang tidak menjaga kemaluannya dari perbuatan zina, jelasnya lagi bahwa onani tidak masuk dalam ayat ini.
2. Konteks zina ini selain dapat diketahui dari ayat tersebut, juga dapat dipahami dari tradisi yang berkembang pada masa turunnya ayat. Sebagaimana diketahui, bahwa perzinahan pada masa turunnya ayat adalah hal yang biasa. Bahwa sebagian pelacur menaruh bendera di depan rumahnya agar diketahui bahwa dia adalah pelacur. Dengan demikian, dia dapat menarik “mangsa” secara lebih mudah. Jika memang demikian adanya, maka dapat digunakan kaidah usul yang mengatakan:
العادة تخصص العام
Artinya: “Tradisi dapat mengkhususkan keumuman lafal”.
3. Selain itu, tidak terdapat satu nash pun yang mengkhususkan ayat tersebut dengan onani. Ini artinya, keumuman ayat tersebut hanya zina, sementara onani tidak masuk ke dalamnya. Hal ini juga dapat menggunakan kaidah usul yang mengatakan:
إبقاء العام على عمومه إذا لم تكن فى الكلام قرينة
Artinya: “Membiarkan lafal umum tetap umum selama dalam konteks lafal tersebut tidak ada indikator”
4. Firman Allah Swt:
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأَرْضِ جَمِيعًا
Artinya: “Dia lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu” (QS. Al-Baqarah: 29).
Bahwa segala sesuatu yang diciptakan Allah adalah untuk kepentingan manusia, karena tidak ada larangan yang jelas mengenai onani, berarti onani juga untuk manusia. Dengan kata lain, onani hukumnya boleh. Hal ini sesuai dengan kaidah usul yang mengatakan:
الأصل فى الأشياء الإباحة
Artinya: “Hukum asal dari sesuatu adalah boleh”.
5. Firman Allah Swt:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaknya menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah mampukan mereka dengan kurnia-Nya.” (QS. Al-Nûr: 33)
Ayat di atas memerintahkan kita untuk bersikap ‘iffah atau menjaga diri dari perbuatan maksiat, salah satunya adalah zina. Onani juga dapat menjaga seseorang dari perbuatan zina. Dengan demikian, berarti onani diperbolehkan.
6. Firman Allah Swt:
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
Artinya: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina.”
Ayat di atas menyatakan bahwa mani merupakan air yang hina. Ini menunjukkan bahwa mani adalah barang sisa yang boleh dikeluarkan kapan saja.
7. Firman Allah Swt:
الَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minîn: 5-7).
Ayat tersebut melarang perbuatan yang melampaui batas, yang dimaksud perbuatan melampaui batas adalah berzina sebagaimana makna hakiki yang diharamkan. Sementara melampaui batas juga bisa bermakna majazi yaitu onani yang diperbolehkan. Hal ini mengingat bahwa tidak semua larangan hukumnya haram, namun kadang juga ibâhah dan nadab.
8. Para sahabat pernah melakukan onani, khususnya ketika dalam peperangan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Qatadah, Hasan Bashri, Mujahid, Atha Ziyad bin Abi al-Ala dan lain sebagainya. Perkataan dan perbuatan sahabat dapat dijadikan sebagai hujah. Ini menunjukkan bahwa onani diperbolehkan.
9. Hukum menyentuh kemaluan adalah boleh, sementara onani juga merupakan bagian dari menyentuh kemaluan. Bedanya onani adalah memijat kemaluan hingga mengeluarkan air mani. Ini menunjukkan bahwa onani diperbolehkan.
10. Hadits yang melarang onani adalah hadits lemah, sementara dalam kaidah ushul dikatakan:
الحديث الضعيف لا يعمل به فى الأحكام و لا فى الفضائل
Artinya: “Hadis dhaif (lemah) tidak dapat diamalkan baik yang berkaitan dengan hukum atau dalam amalan-amalan utama”
B. Dalil Akal
1. Mani adalah barang sisa. Dengan demikian, mani dapat dikiyaskan terhadap barang sisa lainnya yang boleh dikeluarkan kapan saja.
2. Mengumbar nafsu syahwat hukumnya haram, sementara onani dapat mengurangi nafsu syahwat. Dengan demikian, hukum onani diperbolehkan.
3. Onani dibolehkan jika kondisi menuntut demikian, seperti halnya seorang pemuda yang sedang belajar di negeri orang, sementara berbagai godaan syahwat berada di hadapannya. Dalam kondisi seperti ini, onani akan dapat menyelamatkan dirinya dari perbuatan zina.
2. Onani Adalah Haram
A. Dalil Nash
1. Firman Allah Swt:
الَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ * إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ * فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاءَ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ
Artinya: “Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya (5), kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela (6), barang siapa yang mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas” (QS. Al-Mu’minîn: 5-7).
Ayat tersebut memuji orang-orang mukmin yang mampu menjaga dirinya dari perbuatan tercela, yaitu mereka yang mampu menjaga kemaluannya. Bagi siapa saja yang tidak dapat menjaga kemaluannya dianggap telah melampaui batas. Dalam ayat lain dikatakan bahwa orang yang melampaui batas adalah orang yang zalim, firman Allah Swt.:
وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ
Artinya: “Dan barang siapa yang melanggar hukum-hukum Allah (melampaui batas), maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri” (QS. Al-Thalâq: 1).
Jika kita menggunakan kiyas, maka akan menghasilkan konklusi sebagai berikut:
Barang siapa yang mencari di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas dan orang yang melampaui batas adalah orang yang zalim, dengan demikian, orang yang mencari di balik itu adalah orang yang zalim. Sementara, setiap perbuatan zalim diharamkan oleh Allah Swt.. Di sini, onani masuk dalam perbuatan melampaui batas yang diharamkan Allah.
A. Lafal (فمن إبتغى و راء ) bersifat umum, mencakup zina, homoseksual, hubungan seks dengan binatang dan juga onani. Dalam kaidah usul dikatakan:
إبقاء العام على عمومه إذا لم تكن فى الكلام قرينة
Artinya: “Membiarkan lafal umum tetap umum selama dalam konteks lafal tersebut tidak ada indikator”.
Karena ayat tersebut masih bersifat umum, maka onani termasuk dalam perbuatan melampaui batas yang diharamkan.
B. Bagi mereka yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan ( فمن إبتغى و راء ) adalah zina, homoseksual dan hubungan seks dengan binatang saja, dengan alasan bahwa tradisi dapat mengkhususkan keumuman ayat tersebut, tidak dapat diterima. Hal ini karena tradisi yang dapat mengkhususkan nas adalah tradisi yang bersifat perkataan (qauliyyah), bukan tradisi yang berupa perbuatan (fi’liyyah). Sementara tradisi dalam konteks ayat di atas adalah tradisi fi’liyyah.
C. Jika yang dimaksud dengan ( فمن إبتغى و راء ), dalam ayat di atas hanyalah zina, maka konteks ayat menjadi tidak berguna. Hal ini mengingat bahwa hukum zina sudah jelas diterangkan dalam al-Qur’an, maka jelaslah bahwa onani masuk dalam konteks ayat tersebut.
2. Firman Allah Swt.:
وَلْيَسْتَعْفِفِ الَّذِينَ لَا يَجِدُونَ نِكَاحًا حَتَّىٰ يُغْنِيَهُمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ
Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian dirinya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya.” (QS. Al-Nûr: 33).
1. Dalam ayat di atas, Allah memerintahkan bagi orang yang tidak mampu menikah untuk bersikap ‘iffah (menjaga kesucian dirinya). Dalam kaidah usul dikatakan:
الأمر يفيد الوجوب إلا إذا صرفته قرينة
Artinya: “Kata perintah menunjukkan wajib kecuali jika terdapat indikator”.
Dengan demikian, bersikap ‘iffah hukumnya wajib, maka segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap ini juga termasuk wajib, seperti zina, homoseksual, hubungan seks dengan binatang dan termasuk di dalamnya tidak melakukan onani.
2. Jika dikatakan bahwa melakukan onani juga bagian dari sikap ‘iffah agar terhindar dari perbuatan zina, maka perkataan seperti ini tidak dapat diterima. Jika onani adalah bagian dari ‘iffah, tentu onani menjadi wajib, karena hukum ‘iffah sendiri adalah wajib, dan pendapat seperti ini gugur.
3. Jika dikatakan bahwa ‘iffah dalam ayat tersebut mengandung dua makna, yaitu makna hakiki yang diharamkan, yaitu zina, homoseksual dan berhubungan seks dengan binatang, dan juga makna majazi (kiasan) yang dibolehkan yaitu onani, maka pendapat ini juga tidak dapat diterima. Hal ini karena menggabungkan dua makna hakikat dan majazi dalam satu lafal, sedangkan ini tidak dibenarkan. Selain itu, dua makna tersebut juga saling bertentangan, yaitu antara sesuatu yang dilarang dengan yang dibolehkan.
4. Jika dikatakan bahwa tidak semua kata perintah mengandung makna wajib, namun terkadang mengandung makna nadab atau ibâhah, perkataan seperti ini dapat dibenarkan dengan catatan terdapat indikator. Kenyataannya, dalam ayat di atas tidak terdapat indikator yang dapat memalingkan atau menggabungkan makna-makna tersebut.
5. Allah memerintahkan bagi orang yang tidak dapat menikah agar berlaku ‘iffah. Antara nikah dengan ‘iffah tidak terdapat “penengah” yang dapat menjembatani keduanya. Dengan demikian, onani tetap diharamkan.
6. Jika saja onani dibolehkan, tentu dalam ayat di atas, Allah memberikan keterangan, kenyataannya tidak terdapat keterangan. Dalam kaidah usul dikatakan:
السكوت فى مقام البيان يفيد القصر
Artinya: “Diam dalam kondisi yang membutuhkan keterangan mengandung makna qashr”. Karena ayat tersebut membutuhkan keterangan, sementara tidak diterangkan, maka hukum onani menjadi haram.
3. Sabda Rasulullah Saw:
قال النبى صلى الله عليه و سلم: يا معشر الشباب من استطاع منك الباءة فليتزوج و من لم يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء
Artinya: “Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang sudah sanggup menikah maka nikahlah, dan barang siapa yang belum sanggup, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu sebagai perisai” (HR. Bukhari).
a. Bahwa syariat menganjurkan bagi orang yang tidak sanggup untuk menikah agar dia berpuasa. Jika saja onani dibolehkan tentu Rasulullah menerangkan dalam hadits tersebut, kenyataannya Rasul tidak menerangkan. Dengan demikian, maka onani hukumnya haram. Hal ini juga sesuai dengan kaidah usul: Artinya: “Diam dalam kondisi yang membutuhkan keterangan mengandung makna qashr”
b. Rasul memerintahkan bagi orang yang tidak dapat menikah agar berpuasa, padahal onani lebih mudah dikerjakan dari pada berpuasa, karena Rasulullah tidak menyinggung onani maka tidak diperbolehkan.
4. Sabda Rasulullah Saw:
جاء رجل إلى رسول الله صلى الله و سلم فقال يا رسول الله ائذن لي أن أختصي فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم خصاء أمتي الصيام و القيام
Artinya: “Seorang laki-laki mendatangi Rasulullah, dia bertanya: wahai Rasulullah ijinkanlah aku untuk mengebiri diri. Rasulullah Saw., bersabda: mengebiri bagi umatku adalah puasa dan shalat” (HR. Ahmad)
Dalam hadits tersebut Rasulullah tidak membolehkan seseorang mengebiri diri sendiri, juga Rasul tidak memerintahkannya untuk melakukan onani. Bahkan secara jelas Rasul memerintahkannya untuk melakukan puasa dan shalat, ini menunjukkan onani hukumnya haram.
5. Sabda Rasulullah Saw:
إن النبي صلى الله عليه و سلم قال سبعة لا ينظر الله إليهم يوم القيامة و لا يزكيهم و لا يجمعهم مع العالمين و يدخلهم النار فى أول الداخلين إلا أن يتوبوا و من تاب تاب الله عليه: الناكح يده و الفاعل و المفعول به و مدمن الخمر و الضارب والديه حتى يستغينا و الموذي جيرانه حتى يلعنه الناس و الناكح حليله جاره
Artinya: “Bahwa Nabi Saw., bersabda: tujuh golongan di mana Allah Swt., tidak akan memandang mereka pada hari kiamat, tidak mensucikan mereka, tidak mengumpulkan mereka dengan (orang-orang) sekalian alam dan akan dimasukkan ke dalam neraka dengan orang-orang yang pertama-tama masuk ke dalamnya, kecuali jika mereka bertaubat. Barang siapa bertaubat, maka Allah akan menerima taubatnya, mereka itulah pelaku onani, homoseksual, pecandu khamar, memukul orang tuanya sampai dia berteriak, orang yang menyakiti tetangganya hingga semua orang melaknatnya dan orang yang berzina kepada tetangganya. (HR. Baihaqi).
1. Dalam hadits tersebut terdapat ancaman yang sangat keras bagi orang yang melakukan onani, ini menunjukkan bahwa onani hukumnya haram.
2. Jika dikatakan bahwa hadits ini lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum, maka jawabannya adalah bahwa hadits lemah yang tidak dapat dijadikan sandaran adalah hadits lemah yang tidak ada penguat dari nash lain, jika terdapat nash yang menguatkannya maka hadits tersebut dapat diamalkan. Selain itu, juga terdapat hadits senada dengan jalur periwayatan yang berbeda yang mencapai derajat hasan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hadits yang telah disebutkan di atas adalah hadits hasan li ghairihi.
3. Jika pun dua hadits tersebut dianggap lemah dan tidak dapat dijadikan sandaran hukum, maka sesungguhnya pendapat ini bertentangan dengan apa yang dilakukan oleh mayoritas ulama. Dalam berbagai karya, seperti karya Imam Syafi’i banyak juga ditemukan hadis lemah. Al-Hafizh Abu Fathi dalam kitab Matzmâniy wa al-Battar yang banyak menukil dari pendapat Imam Malik, juga terdapat hadis lemah. Penulis buku tersebut mengatakan “menggunakan hadits lemah sebagai hujah dalam masalah hukum tidak hanya dilakukan oleh mazhab Maliki, namun juga dilakukan oleh seluruh imam mazhab. Oleh karena itu, perkataan para ulama yang mengatakan bahwa hadis lemah tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam hukum adalah perkataan yang tidak dapat dipahami secara mutlak, seperti yang sering dipahami oleh banyak orang. Hal ini dikarenakan, jika kita melihat berbagai pendapat para imam yang berkaitan dengan hukum, baik pendapat mereka sendiri secara independen atau hasil dari ijmak atau konsensus, maka kita akan menemukan bahwa hadits lemah yang mereka gunakan lebih dari 50%, bahkan terkadang hadits-hadits tersebut hampir mendekati predikat hadits maudhû’. Hanya saja sebagian dari para ulama tersebut mengatakan bahwa hadits ini dapat diterima, atau mereka mengatakan sudah menjadi konsensus ulama menerima hadits ini. Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits ini sesuai dengan kiyas, mereka tetap menggunakan hadits tersebut tanpa melihat kembali kaidah yang mengatakan bahwa hadits yang lemah tidak dapat dijadikan sebagai sandaran dalam menentukan sebuah hukum.
B. Dalil Akal
1. Berdasarkan perspektif kedokteran, onani dapat menimbulkan banyak penyakit atau efek samping negatif terhadap kesehatan, di antaranya adalah:
a. Dapat melemahkan pandangan mata
b. Melemahkan alat kelamin dan dapat menimbulkan penyakit impotensi
c. Dapat melemahkan anggota tubuh
d. Melemahkan fungsi testis sehingga tidak dapat tumbuh secara normal
e. Berdampak negatif terhadap air mani, sehingga air mani menjadi lebih encer dan sering terjadinya ejakulasi dini (air mani cepat keluar) ketika berhubungan seksual
f. Menimbulkan rasa nyeri pada tulang punggung dan dapat mengakibatkan kebungkukan
g. Mengurangi dan melemahkan air mani, akibatnya menyulitkan terjadinya pembuahan. Jika pun pembuahan dapat terjadi, janin yang dihasilkan akan lemah
h. Dapat menimbulkan tulang kaki lemah, akibatnya kaki mudah gemetaran
i. Melemahkan otak
j. Dapat menyebabkan berbagai penyakit kelamin
2. Dalam kaidah fikih dikatakan:
لا ضرر و لا ضرار
Artinya: “Tidak boleh melakukan perbuatan yang mengandung mudarat bagi diri sendiri dan orang lain”.
Jika onani dapat menimbulkan berbagai macam penyakit sebagaimana disebutkan di atas, maka jelas bahwa hukum onani adalah haram.
3. Air mani bukanlah barang sisa (fudhlah) seperti darah, air kencing dan sebagainya, sebagaimana, sebagaimana anggapan sebagian ulama. Benar bahwa mani di dalam al-Qur’an disebutkan sebagai air yang hina, sebagaimana firman-Nya:
أَلَمْ نَخْلُقْكُمْ مِنْ مَاءٍ مَهِينٍ
Artinya: “Bukankah Kami menciptakan kamu dari air yang hina” (QS. Al-Mursalât: 20).
Hanya saja, hina di sini maksudnya adalah lemah. Artinya, manusia diciptakan dari air yang lemah, yang tidak sanggup menjadi bakal manusia kecuali sesuai dengan kehendak Allah Swt.. Jika pun diterima bahwa mani adalah barang sisa, namun mani tidak dapat disamakan dengan barang sisa lainnya.
4. Bahwa mani di dalam al-Qur’an dianggap sebagai suatu anugerah yang besar dan bagian dari nikmat Allah yang tidak dapat dihitung. Allah Swt., di dalam al-Qur’an mengatakan:
أَفَرَأَيْتُم مَّا تُمْنُونَ . أَأَنتُمْ تَخْلُقُونَهُ أَمْ نَحْنُ الخَالِقُونَ
Artinya: “Maka terangkanlah kepadaku tentang nutfah yang kamu pancarkan. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya.” (QS. Al-Waqî’ah: 59).
Sementara itu, Allah tidak pernah menyebutkan anugerah lain seperti darah ataupun air kencing di dalam al-Qur’an, sebagaimana Allah menyebutkan air mani. Ini menunjukkan bahwa mani berbeda dengan barang sisa lainnya. Selain itu jika suatu anugerah disebutkan dalam al-Qur’an, berarti anugerah Allah itu adalah perkara yang mempunyai nilai lebih, sebagaimana Allah menyebutkan tentang alam raya, penciptaan manusia dan lain sebagainya.
5. Mani adalah barang yang suci. Untuk menguatkan statemen ini, Ibnu Qayim mengatakan bahwa Allah Swt., banyak memberitahukan kepada kita mengenai ayat ini dan juga banyak menyebutkan dalam al-Qur’an. Al-Qur’an juga banyak memberikan sifat mani, di antaranya adalah:
خُلِقَ مِن مَّاء دَافِقٍ (6) يَخْرُجُ مِن بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ
Artinya: “Manusia diciptakan dari air yang memuncrat () Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang dada perempuan.” (QS. Al-Talâq: 6-7).
Firman Allah Swt:
فَجَعَلْنَاهُ فِي قَرَارٍ مَكِينٍ
Artinya: “Kemudian Kami letakkan di dalam tempat yang kokoh (rahim)” (QS. Al-Mursalât: 21).
Allah tidak menyebutkan dan mengulang-ulang sifat seperti ini pada air kencing atau kotoran lainnya. Ini menunjukkan—-masih menurut Ibnu Qayim— bahwa mani bukanlah barang najis, sementara sifat hina dalam ayat lain, bukan berarti mani bukan sesuatu yang najis, namun air yang lemah. Meski demikian, dengan kehendak-Nya, Allah dapat menciptakan manusia.
6. Manusia diciptakan Allah sebagai makhluk yang mulia. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
وَلَقَدْ كَرَّمْنَا بَنِي آدَمَ وَحَمَلْنَاهُمْ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَرَزَقْنَاهُم مِّنَ الطَّيِّبَاتِ وَفَضَّلْنَاهُمْ عَلَى كَثِيرٍ مِّمَّنْ خَلَقْنَا تَفْضِيلاً
Artinya: “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkat mereka di daratan dan di lautan, Kami beri mereka rezeki yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.” (QS. Al-Isrâ’).
Mani merupakan bahan awal dalam proses penciptaan manusia yang telah dimuliakan Allah, dengan demikian, tidak logis jika manusia hanya diciptakan dari barang sisa. Jadi, mani bukanlah barang sisa.
7. Mani keluar dari tubuh manusia secara nikmat. Untuk itulah, Allah memerintahkan agar manusia menikah. Dengan ini pula, manusia dapat melanjutkan keturunan. Sementara barang sisa lainnya keluar dari tubuh hanya sekadar untuk menghilangkan mudarat bagi manusia, seperti halnya buang air besar dan buang air kecil, atau untuk pengobatan, seperti mengeluarkan darah kotor dalam bekam, atau seperti sunah memotong kuku untuk tujuan kebersihan. Hal ini menunjukkan bahwa mani bukanlah barang sisa.
8. Adapun bahwa mani berbeda dengan barang sisa seperti darah dan lainnya, dapat juga dilihat dari sisi lain, bahwa mengeluarkan darah dengan bekam dapat menjadi sebuah profesi. Ini artinya, orang yang melakukan praktek bekam diperbolehkan menerima upah, jelas ini berbeda dengan mani.
9. Keluarnya darah atau barang sisa lainnya tidak diwajibkan mandi. Berbeda dengan mani yang jika keluar, meski dengan onani tetap diwajibkan untuk mandi.
10. Keluarnya barang sisa seperti darah, air kencing dan yang lainnya tidak membatalkan puasa. Berbeda dengan mani yang jika keluar dapat membatalkan puasa.
11. Pendapat yang mengatakan bahwa para sahabat juga melakukan onani tidak dapat diterima:
a. Pendapat para sahabat bukanlah hujah yang bisa dipegang. Hal ini karena pendapat mereka adalah ijtihad yang masih ada kemungkinan salah. Di antara mereka juga ada yang hanya mengikuti sahabat lainnya. Baik pendapat mujtahid atau muqallid tidak dapat dijadikan sebagai hujah.
b. Pendapat bahwa para sahabat melakukan onani diriwayatkan dari sebagian tâbi’în, di antaranya, Ziyad Abu Al-‘Ala, Hasan dan Mujahid. Mereka tidak menyebutkan bahwa para sahabat melakukan hal itu pada masa Nabi Saw.. Dengan demikian, ini bisa disebut dengan atsar mauqûf yang juga tidak dapat dijadikan hujah.
c. Jika pun dikatakan bahwa pendapat para sahabat adalah hujah, bagi orang yang mengakui perkataan para sahabat, ini pun masih tidak dapat diterima karena bertentangan dengan nas yang sudah disebutkan sebelumnya.
d. Dalam kaidah ushul dikatakan bahwa jika terdapat dua dalil yang saling bertentangan sementara dua dalil tersebut tidak bisa digabungkan maka harus dilakukan tarjih, dengan mendahulukan dalil terkuat. Dilihat dari dua dalil tersebut, maka dalil yang mengharamkan onani jauh lebih kuat. Alasannya yang pertama, karena dalil tersebut adalah firman Allah dan sabda Rasulullah Saw.. Kedua, bahwa hasil penggalian hukum dari nas tersebut adalah haram. Sementara perkataan sahabat adalah boleh. Jika antara haram dan mubah berbenturan maka didahulukan yang haram. Hal ini sesuai dengan kaidah fikih.
درء المفسدة مقدم على جلب المصلحة
Artinya: “Mencegah kerusakan lebih didahulukan dibandingkan dengan mengambil manfaat”.
12. Onani juga berdampak negatif secara psikis. Hal ini karena orang yang melakukan onani akan selalu merasa bersalah sehingga dalam dirinya terjadi perasaan tidak tenang. Tentu ini akan mengganggu aktivitas lainnya dan dapat mengurangi produktivitas dirinya.
Munâqasyah dan Tarjih
Jika kita melihat kembali dua pendapat di atas beserta argumen yang telah dikemukakan, maka akan terlihat bahwa di dalam kedua pendapat tersebut, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Kekurangan pandangan pertama adalah bahwa mereka hanya melihat mani adalah barang sisa, tampak menilik lebih mendalam mengenai dampak negatif onani baik secara psikilogis ataupun kedokteran. Sementara kelemahan pendapat kedua adalah, bahwa terdapat beberapa argumen yang terkesan dipaksakan, seperti pemakaian hadits dhaif serta terlalu menganggap remeh pendapat para sahabat. Bagi kalangan Ahlu Sunnah, para sahabat adalah adil. Mereka tidak akan melakukan perbuatan haram yang dilarang oleh Rasulullah Saw., pun mereka tidak akan diam jika melihat kemungkaran, apalagi yang berkaitan dengan hukum. Perkataan sahabat memang bisa berupa ijtihad mereka yang tidak hanya mengandung kebenaran, akan tetapi bisa juga mengandung kesalahan. Hanya, posisi sahabat berbeda dengan posisi imam madzhab lainnya. Mereka juga lebih dekat dengan nabi dan lebih mengetahui turunnya syariat.
Meski demikian, jika kita bandingkan antara dua argumen tersebut, maka argumen yang mengatakan bahwa onani adalah haram adalah lebih kuat, argumen ini pula yang dirajihkan oleh jumhur ulama. Para ulama yang membolehkannya pun, seperti Imam Ahmad, Abu Hanifah dan juga Dr. Yusuf al-Qaradawi, mereka membolehkan jika dalam kondisi darurat. Di sini sesungguhnya yang berlaku adalah kaidah fikih:
الضرورة تبيح المحظورات
Artinya: “Kondisi yang mendesak dapat membolehkan melakukan perbuatan yang dilarang.”
إرتكاب أخف الضررين و أهون الشريرين
Artinya: “Dianjurkan melakukan perbuatan yang mengandung bahaya yang lebih ringan dan mengandung keburukan yang paling minimal”
Hanya saja kaidah ini dilanjutkan dengan kaidah yang lain:
الضرورة تقدر بقدرها
Artinya: “Melakukan hal yang dilarang, sesuai dengan kadar kebutuhannya (secukupnya).”
Dengan kata lain, berlebih-lebihan dalam melakukan hal terlarang dalam keadaan darurat tetap diharamkan.
Sebab-Sebab Orang Melakukan Onani
1. Sering melihat film atau majalah porno.
2. Sering membaca tulisan porno
3. Sering mendengar sesuatu yang dapat membangkitkan syahwat
4. Sering pergi ke tempat-tempat maksiat
5. Tidak mengetahui hukum Allah Swt
6. Mengikuti hawa nafsu setan
7. Tidak menikah
8. Tidak pandai menjaga detikan pikiran yang berasal dari setan dan hawa nafsu
9. Tidak menjaga pandangan
10. Tidak menyibukkan diri dengan ibadah dan dakwah
11. Tidak peduli terhadap dampak negatif yang ditimbulkan
12. Menganggap onani adalah perbuatan biasa
13. Tidak memiliki keinginan yang kuat untuk menghindari onani
14. Sering menyendiri
15. Meremehkan hasil yang diperoleh dari puasa
16. Tidak mengindahkan etika tidur sesuai dengan syariat Islam
17. Tidak konsisten dengan doa dan zikir yang disyariatkan.
Cara Mengatasi Onani
Onani jika telah menjadi kebiasaan akan sulit terobati. Onani bisa menjadi candu bagi siapa saja yang pernah melakukannya. Hanya setiap penyakit pasti ada obatnya. Di bawah ini, penulis akan mencoba memberikan solusi untuk keluar dari kebiasaan buruk tersebut:
a. Jaga pandangan, jangan membiarkan mata Anda jatuh pada hal-hal yang diharamkan Allah. Jangan sekali-kali melihat film porno, majalah atau tulisan porno. Pandangan adalah salah satu panah setan. Jika Anda sudah dapat menjaga pandangan, maka Anda juga akan dapat menjaga pikiran dan hati Anda dari ilustrasi kotor. Dengan demikian, Anda akan selamat dari perbuatan onani.
b. Jaga telinga Anda. Jangan biarkan telinga Anda mendengar sandiwara atau perbincangan yang dapat membangkitkan syahwat. Itu akan merasuk ke dalam otak Anda dan membayangi pikiran Anda. Usahakan Anda mendengar hal yang baik-baik, seperti bacaan kitab suci dan ceramah agama. Jika Anda dapat menjaga telinga Anda, maka otak pikiran Anda akan terjaga dan Anda akan selamat dari kebiasaan onani.
c. Jaga mulut Anda. Jangan biarkan mulut Anda berbicara atau menimpali pembicaraan yang mengundang nafsu syahwat. Itu juga akan menimbulkan ilustrasi yang buruk dalam otak Anda. Bicaralah yang baik-baik atau jika tidak dapat berbicara baik, maka bersikaplah diam, karena itu lebih baik dan selamat bagi Anda.
d. Hati-hati dalam bergaul. Sahabat Anda adalah diri Anda sendiri. Jika Anda terbiasa bersahabat dengan orang yang memiliki kebiasaan buruk, lambat laun anda akan terpengaruh. Bergaullah dengan sahabat yang dapat menuntun Anda ke jalan yang benar. Mengenai sahabat ini, Allah Swt., berfirman:
الْأَخِلَّاء يَوْمَئِذٍ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ عَدُوٌّ إِلَّا الْمُتَّقِينَ
Artinya: “Teman-teman akrab pada hari itu sebagiannya menjadi musuh bagi sebagian yang lain, kecuali orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Zukhruf: 67).
e. Hendaknya Anda mengetahui halal-haram. Dengan demikian, Anda tidak akan mudah jatuh ke dalam perbuatan dosa.
f. Konsistenlah dalam menjalankan shalat lima waktu. Shalat yang baik akan berimplikasi positif dalam tingkah laku Anda. Jika kehidupan Anda selalu digantungkan kepada Sang Pencipta, hati Anda akan tenang, kehidupan Anda akan lapang. Anda akan dapat mengendalikan diri Anda, Anda akan merasa malu dengan Sang Pencipta. Pada akhirnya, Anda akan selamat dari segala perbuatan tercela.
g. Hadirilah berbagai pengajian atau majelis ilmu. Ingatlah bahwa para ulama adalah pewaris para nabi. Anda akan menjadi orang mulia di dunia dan akhirat. Jika Anda sudah merasakan nikmatnya ilmu, niscaya Anda tidak akan merasa bosan, Anda akan sibuk dengan ilmu dan pada akhirnya Anda akan dapat meninggalkan perbuatan buruk Anda.
h. Isilah waktu kosong Anda dengan sesuatu yang bermanfaat. Isilah kekosongan dengan sunah-sunah Rasul dan jauhilah teman yang selalu mengajak kepada kejahatan.
i. Puasa adalah salah satu cara yang paling jitu untuk mengatur hawa nafsu. Puasa dapat mendorong orang untuk lebih taat kepada perintah Allah Swt., dan menjauhkan diri dari segala larangan-larangan-Nya. Puasa akan menambah kedekatan kita kepada Allah Swt., serta meningkatkan ketaqwaan. Dalam al-Qur’an Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa” (QS. Al-Baqarah: 183).
j. Berusaha untuk selalu melangkah dengan mengharap ridha Allah Swt., yaitu dengan mentaati segala perintah-Nya. Dengan demikian, diri kita akan terjaga dari perbuatan buruk.
k. Menikah adalah salah satu sarana untuk mengatasi onani. Menikah adalah rahmat Allah bagi umat manusia. Selain terhindar dari perbuatan tercela, menikah dapat menenangkan batin dan menjadikan hidup lebih bermakna. Anda akan selalu riang gembira dengan pasangan Anda. Insting Anda akan tersalurkan dengan halal, bahkan dianggap sebagai bagian dari ibadah kepada Allah Swt.. Mengenai kewajiban menikah, Allah berfirman:
وَأَنْكِحُوا الْأَيَامَىٰ مِنْكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَائِكُمْ ۚ إِنْ يَكُونُوا فُقَرَاءَ يُغْنِهِمُ اللَّهُ مِنْ فَضْلِهِ ۗ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Artinya: “Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang patut (nikah) dari hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui” (QS. 24:32).
Jadi Anda jangan takut menikah karena persoalan materi, karena Allah Swt., akan selalu menolong Anda. Ingatlah ayat di atas, “Jika mereka miskin Allah akan mampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”.
Penutup
Onani adalah perbuatan tercela yang secara jelas dilarang oleh syariat. Onani sering dilakukan oleh para pemuda, apalagi ketika mereka disuguhi dengan berbagai hal yang dapat membangkitkan syahwat. Pada masa sekarang, menjaga diri dan berlaku ‘iffah memang berat. Di mana-mana kita disuguhi dengan berbagai adegan yang dapat membuat kita mengumbar nafsu. Tidak hanya di jalan raya, bahkan di rumah kita sekalipun. Berbagai acara televisi yang menggiurkan justru semakin semarak dan sangat digandrungi oleh masyarakat. Betapa Inul Daratista begitu masyhur dengan goyang ngebornya. Betapa nyanyian “Cecak Rowo” yang sangat porno dan vulgar begitu familier, bahkan di telinga anak-anak balita sekali pun. Jika setiap hari kita disuguhi dengan berbagai tayangan yang tidak sehat seperti ini, akan jadi apakah generasi muda mendatang?
Itu mungkin belum seberapa. Kita akan lebih terkejut manakala CD “Bandung Lautan Asmara” tidak hanya muncul sekali. Namun muncul berbagai macam CD serupa mempertontonkan adegan porno, bukan dari Amerika, namun berasal dari negara muslim terbesar di dunia; Indonesia.
Mungkin benar poling dari salah satu koran yang mengatakan bahwa 90% perawan Yogya sudah tidak perawan. Bahkan dalam media lain mengungkapkan, bahwa kasus “tidak perawan” ini juga sudah disaingi oleh Bandung dan Surabaya. Seks bebas ternyata telah menjadi tren di kalangan para remaja, pelajar dan mahasiswa, sungguh sangat memilukan hati.
Beban dakwah semakin berat. Dakwah amar makruf nahi munkar yang merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim, semakin membutuhkan kerja keras. Amar makruf nahi munkar inilah yang akan menyelamatkan manusia dari gerbang kehancuran.
Dari mana kita memulai? Tentu dari komponen terkecil. Dari diri kita, keluarga kita, tetangga kita dan begitu seterusnya. Dengan demikian, lambat laun Islam akan kembali bersinar di negeri kita.
Onani seakan persoalan yang sepele, namun persoalan kecil jika dibiarkan lambat laun akan menumpuk dan menjadi besar. Pun itu adalah hal kecil di mata manusia. Banyak hal kecil menurut kita, namun di mata Allah adalah perkara yang sangat besar. Betapa Allah memasukkan seseorang ke dalam surga karena memberi minum anjing, namun juga memasukkan seseorang ke dalam neraka hanya karena menyekap seekor kucing.
Semoga kita diberi pengetahuan yang bermanfaat, semoga kita menjadi hamba yang dapat mengamalkan ilmu yang kita dapat. Semoga segala langkah kita hanyalah mengharap ridha Allah semata, amin.
(Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M)
Infak untuk pengembangan website dan aplikasi Tanya Jawab Agama: Bank BNI Syariah No. Rekening 0506685897 a.n Muhamad Muflih.
Wakaf untuk pembangunan Pesantren Almuflihun: Bank BNI No. Rekening 0425335810 a.n Yayasan Al Muflihun Temanggung.
Konfirmasi transfer +628981649868 (SMS/WA)