Tanya:
Assalamualaikum warahmatullahi wabawakatuh
Apakah Term Bidah Hasanah ada dalam HPT Muhammadiyah? Bagaimana cara pandang Muhammadiyah terhadap Bidah Hasanah? (Delfian Thanta – Bolaang Mongondow)
Jawab:
Wa’alaikum salam
Belakangan kita sering mendengar mengenai sekelompok orang yang sangat mudah membid’ahkan kelompok lain. Segala “amalan” yang dianggap tak pernah dilaksanakan oleh Rasulullah saw, dikategorikan bid’ah. Maka, berdzikir menggunakan tasbih, bacaan ushalli, dzikir bersama ba’da salat, berjabat tangan ba’da salat, acara maulid Nabi, shalawatan, yasinan, tahlilan dan lain sebagainya dianggap sebagai bid’ah yang sesat.
Persoalan yang kadang masih berupa pandangan berbeda dalam memahami nash baik Quran atau sunnah, dianggap bid’ah. Akhirnya, cakupan bid’ah menjadi sangat luas.
Lantas mereka lanjutkan bahwa segala perbuatan bid’ah adalah sesat dan segala yang sesat masuk neraka. Dalil mereka sebagai berikut.
أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقول في خطبته : ( إن أصدق الحديث كتاب الله ، وأحسن الهدي هدي محمد ، وشر الأمور محدثاتها ، وكل محدثة بدعة ، وكل بدعة ضلالة ، وكل ضلالة في النار
Artinya: Sesungguhnya sebenar-benar pembicaraan adalah Kalam Allah, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, setiap yang diada-adakan itu adalah bid’ah, setiap bid’ah itu adalah sesat dan setiap kesesatan adalah di neraka. (HR. Nasai)
عن أم المؤمنين أم عبدالله عائشة رضي الله عنها قال : قال رسول الله صلىوسلمض ” من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
Dari Ummul Mukminin, Ummu ‘Abdillaah, ‘Aisyah ra bahwa Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan agama kami yang bukan bagian darinya (agama), maka ia tertolak.” (HR. Bukhari)
Hanya saja, menurut imam Nawawi, salah seorang fakih dan muhadis Syafi’iyyah yang sangat ternama bahwa hadis tersebut ditakhsis oleh hadis lain. Dalam kitab Syarah Shahih Muslim, Imam Nawawi menukil hadis yang dianggap sebagai takhsish, yaitu:
مَنْ سَنَّ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ لَهُ أَجْرُهَا وَمِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا
Artinya: “Barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang baik di dalam Islam maka baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunnah tersebut setelahnya tanpa mengurangi dari pahala-pahala mereka dan barangsiapa yang mencontohkan sunnah yang buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya” (HR. Muslim)
Apakah yang dimaksudkan dengan sunnah hasanah? Menurut Imam Nawawi bahwa sunnah hasanah adalah segala perbuatan baru baik sesuai dengan standar syariat. Sementara itu, sunnah sayyi’ah adalah segala perbuatan buruk yang tidak sesuai dengan standar syariah.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Assanadi. Ketika memberikan syarah atas hadis di atas, beliau menyatakan bahwa sunnah hasanah adalah perbuatan yang diridhai Allah dan dapat diteladani. Bagaimana cara mengetahui bahwa suatu perbuatan dianggap sunnah hasanah? Standarnya adalah dengan menimbang perkara tersebut sesuai dengan al-Quran dan sunnah atau tidak.
Menurut al-Ghummari dalam kitab Itqanu ash-Shan’ah Fi Tahqiqi Ma’na al-Bid’ah bahwa tidak semua yang baru, dianggap bid’ah. Hadis di atas, yaitu terkait dengan sunnah hasanah menjadi mukhasish atas hadis bid’ah di atas. Selain itu, redaksi dari hadis itu sendiri telah menunjukkan bahwa tidak semua perkara dianggap bid’ah. Hal ini karena hadis menggunakan kalimat:
ما ليس منه فهو رد
Yang bukan bagian darinya (agama), maka ia tertolak.
Bukan menggunakan redaksi:
فى امرنا هذا شيئا فهو رد
Dalam perkara kami dalam bentuk apapun maka ia tertolak.
Artinya jika tambahan terkait dengan sesuatu yang merupakan bagian dari agama, hal itu dibolehkan.
Hal ini juga dikuatkan dngan atsar sahabat yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari sebagai berikut:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ القَارِيِّ ، أَنَّهُ قَالَ : ” خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، لَيْلَةً فِي رَمَضَانَ إِلَى المَسْجِدِ، فَإِذَا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُونَ، يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ، وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّي بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ ، فَقَالَ عُمَرُ: “إِنِّي أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ ، لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ ، فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ، ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى ، وَالنَّاسُ يُصَلُّونَ بِصَلاَةِ قَارِئِهِمْ ، قَالَ عُمَرُ: “نِعْمَ البِدْعَةُ هَذِهِ،
Dari abdurrahman bin abdul qari bahwa dia berkata, saya keluar bersama umar bin khathab ra pada malam bulan ramadhan ke masjid. Orang terpencar di mana-mana. Ada yang shalat sendiri, ada juga yang shalat berkelompok. Lalu umar berkata, menurutku akan lebih baik jika mereka shalat dengan satu imam. Lalu umar merencanakan (untuk mengumpulkan mereka). Lalu mereka dikumpulkan bersama dengan Ubaibbin Ka’ab.
Di malam berikutnya saya keluar lagi dengan umar dan orang orang shalat bersama satu imam. Lalu umar berkata, sebaik baik bid’ah itu ya ini (HR. bukhari)
Dalam kitab Manaqibu Asy-Syafi’i karya imam Al-Baihaqi dikatakan, “Imam Syafi’i berkata, perkara baru dibagi dua. Perkara baru yang bertentangan dengan al-Qur’an atau as-Sunnah atau atsar atau ijmak. Ini adalah bid’ah dhalalah. Kedua, perkara baru yang baik dan tidak bertentangan dengan hal di atas. Perkara baru seperti ini tidak tercela.
Pernyataan Imam Syafi’i di atas yang membagi bid’ah menjadi dua, juga dinukil oleh al-Hafiz Ibnu Nu’aim dalam kitab Hilyatul Awliya.
Yang ingin kami sampaikan sesungguhnya adalah bahwa terkait istilah bid’ah hasanah adalah istilah yang digunakan para ulama setelah melakukan istinbat ahkam (penggalian hukum) dari hadis Nabi. Bid’ah hasanah bukan sebagai justifikasi untuk membuat perkara baru dalam agama yang tidak sesuai dengan hukum syariah. Bid’ah hasanah merupakan perkara baru dengan tetap bersandar dari kitab Allah dan sunnah Rasulullah.
Bagi yang tidak sependapat dengan pembagian bid’ah menjadi dua, dipersilahkan saja, namun tidak selayaknya menyatakan sesat pendapat lain yang tidak sejalan dengannya. Perbedaan pendapat dalam persoalan furu’ adalah biasa, asal masih dalam koridor ijtihad karena perbedaan sistem istidlal.
Muhammadiyah sendiri cenderung tidak membagi bid’ah menjadi hasanah dan sayyiah. Selama suatu amalan ibadah ada landasan dalil dan dengan sistem istidlal yang bisa dipertanggungjawabkan dan dianggap kuat (rajih,) maka amalan itu bisa dilakukan. Jika pendapat itu lemah, maka tidak dapat dilakukan. Yang akan memutuskan perkara itu kuat atau lemah dari sisi dalil dan sistem istidlal, adalah Majelis Tarjih dan Tajdid.
Ada kaidah juga yang bisa kita jadikan pegangan yaitu kaidah fikih berikut:
لا ينكر المختلف فيه ولكن ينكر المجمع عليه
Bahwa kita tidak perlu mencela orang lain karena berbeda ijtihad. Yang harus dicela adalah pendapat yang memang sudah bertentangan dengan ijmak ulama. Wallahu a’lam.
(Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M.)