Fikih Kewarganegaraan: Tinjauan Ulang Ijtihad Ulama Klasi

Jika kita buka buku-buku fikih klasik, utamanya buku yang berkaitan dengan politik, kita akan menemukan beberapa istilah, seperti Kafir harbi, kafir dzimmi, kafir muahid, kafir

Admin

[addtoany]

Jika kita buka buku-buku fikih klasik, utamanya buku yang berkaitan dengan politik, kita akan menemukan beberapa istilah, seperti Kafir harbi, kafir dzimmi, kafir muahid, kafir mustakmin dan ahlul bughah. Kafir harbi adalah orang kafir yang tinggal di Negara musuh dan tidak ada perjanjian damai dengan Negara Islam. Bahkan negara tersebut dengan negara Islam sedang dalam kondisi perang dengan Negara Islam.

Kafir dzimmi adalah orang kafir yang tinggal di Negara Islam. Hanya saja, mereka mereka tidak memerangi umat Islam. Mereka merupakan warga Negara di Negara Islam. Mereka ini mempunyai hak dan kewajiban terhadap Negara. Mereka warga Negara sah dan dilindungi oleh Negara Islam.

Kafir muahid adalah warga Negara asing non muslim yang tinggal di Negara asalnya. Mereka bukan warga Negara Islam. Hanya saja, Negara kafir tersebut mempunyai perjanjian damai dengan Negara Islam. Mereka sama sekali tidak memerangi Negara Islam. Kadang terjadi kerjasama, baik politik maupun ekonomi dengan Negara Islam.

Kafir mustakmin adalah orang kafir dari Negara lain, bukan dari Negara Islam. Meski mereka bukan warga Negara Islam, mereka datang ke Negara Islam dengan niatan damai, baik untuk berdagang, melancong, sekdar berkunjung ke sanak saudara atau lainnya. Mereka ini dilindungi dan berhak mendapatkan keamanan oleh Negara Islam.

Bughah adalah warga Negara dari Negara Islam, namun mereka melakukan pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Mereka ini, oleh pemerintah layak dilakukan negosiasi damai. Jika tidak mau maka mereka harus diperangi.

Istilah-istilah tadi, sesungguhnya terkait dengan “fikih warga Negara” di era Islam klasik. Pembagian-pembagian tersebut diperlukan karena menyangkut hak dan kewajiban yang harus ditunaikan, baik pemerintah atau warga Negara bersangkutan. Ada kalanya, pemerintah harus melindungi mereka, adakalanya tidak. Adakalanya pemerintah harus mendeportasi warga Negara asing, adakalanya harus memberikan suaka politik.

Pada zaman dulu belum ada Negara bangsa. Juga belum ada KTP dan Paspor. Meski demikian, hak dak kewajiban warga Negara telah diatur secara rapi dan mendetail oleh para ulama. Spesifikasi kewarganegaraan tadi penting, terkait dengan banyak hal, baik ekonomi, politik maupun social budaya.

Ini Nampak tatkala para ulama mulai membahas mengenai kewajiban pajak bagi ahlu zhimmah, bea cukai bagi non muslim yang masuk ke Negara Islam, pelaku tindak kriminal bagi umat Islam yang berada di Negara non muslim, perselisihan yang terjadi antar warga Negara yang muslim dengan non muslim dan lain sebagainya. Juga erat kaitannya dengan keputusan pemimpin umat (Imam) untuk memutuskan perang dengan Negara lain. Atau menganggap suatu kelompok telah berlaku bughata, atau melanggar hak kewarganegaraan. Jadi berbagai istilah tersebut memang erat kaitannya dengan system ketatanegaraan.

Umat Islam sebagai satu kesatuan bangsa, dan bahwa Islam adalah agama dan bangsa Nampak sekali dalam firman Allah:

كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللّهِ

Artinya: ”Kamu adalah sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk umat manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran dan kamu beriman kepada Allah.” (Ali Imran: 110).

إن هذه أمتكم أمة واحدة وأنا ربكم فاعبدون

Artinya: “Sesungguhnya bangsa kalian ini, adalah bangsa yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 91)

Meski waktu itu, umat Islam juga pernah terpecah belah menjadi berbagai Negara, namun mereka tetap mengakui bahwa umat Islam merupakan satu bangsa. Karena ia satu bangsa, maka tatkala satu warga Negara Mesir misalnya, pergi ke Syam, meski di sana berlainan pemimpin, tetap saja ia dianggap sebagai satu bangsa. Ia mempunyai hak dan kewajiban yang sama sebagai warga Negara. Jika berdagang, tatkala masuk ke negeri Syam, ia tak perlu membayar bea cukai. Jika ia melakukan tindak kriminal, ia bisa dihukum di Syam tanpa harus konfirmasi dengan pemerintah Mesir. Ini berbeda ketika Romawi yang bukan muslim masuk ke negeri muslim untuk berdagang. Mereka akan terkena bea cukai. Tatkala melakukan tindakan kriminal, cara penanganannya juga berbeda.

Namun sejak datangnya penjajah Barat, kondisi umat Islam berubah. Pembagian-pembagian tersebut di atas, sudah jarang dipakai. Umat Islam telah terkotak-kotak dengan Negara bangsa. Islam sudah bukan lagi dianggap sebagai identitas bangsa (ummah), namun menyempit menjadi identitas agama saja. Sementara untuk bangsa, diformulasikan dengan perbatasan wilayah yang sudah diakui oleh dunia internasional.

Karena pergeseran Negara bangsa tersebut, otomatis menimbulkan bergeseran istilah. Saat ini yang ada adalah istilah warga Negara secara umum. Tidak dipakai lagi dalam undang-undang Negara mengenai istilah kafir harbi, dzimmi, mustakmin, muahid dan lain sebagainya.

Antara warga Negara muslim dengan non muslim tidak ada perbedaan mencolok. Mereka yang non muslim juga bisa masuk ke militer. Hak dan kewajiban antara yang muslim dan non muslim relatif sama. Sistem interaksi dengan warga Negara juga mengalami pergeseran. Dari sini, maka kajian terkait berbagai istilah di atas perlu mendapatkan kajian ulang.

Masalah ini erat kaitannya dengan siyasah syar’iyyah. Ulama dulu berijtihad sesuai dengan kebutuhan di zamannya. Dengan perubahan realitas seperti ini, baik secara politik, sosial budaya, hukum dan lain sebagainya, mengharuskan ulama kontemporer untuk berijtihad yang dapat membawa maslahat bagi seluruh lapisan masyarakat. Sesuai dengan pernyataan Ibnu Qayyib dalam kitab I’lamul Muwaqqiin, bahwa semua yang membawa maslahat bagi umat Islam adalah syariat, sementara yang membawa mafsadah bukan bagian dari syariat. Wallahu alam. (Ustadz Wahyudi Sarju Abdurrahim, Lc., M.M.)

Related Post