Matan:
اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.
Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.
Syarah:
Apakah ilmu pengetahuan itu? Di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan para intelektual. Perbedaan ini muncul dari kepercayaan dan pandangan hidup mereka dalam melihat dunia, alam fisik dan alam metafisik. Bagi mereka yang percaya dengan alam metafisik, maka hal-hal yang terkait dengan alam metafisik, meski tidak dapat diindera dan dilakukan proses penelitian ilmiah, maka ia tetap dianggap sebagai ilmu. Tuhan, malaikat, jin, persoalan masa depan setelah manusia meninggal dan lain sebagainya, merupakan ilmu pengetahuan. Mereka ini adalah para ilmuan yang beragama dan percaya dengan Tuhan.
Bagi yang beranggapan bahwa ilmu hanya sekadar sesuatu yang bisa diindera, dan dapat dilakukan penelitian ilmiah, maka hal-hal terkait alam metafisik dianggap sebagai sesuatu yang bukan ilmu. Karena bukan ilmu, ia tidak ada. Karena tidak ada, maka ia tidak perlu diyakini. Seorang ilmuan, sesuai dengan kecenderungan ini adalah mereka yang mempunyai pengetahuan mengenai alam fisik saja, lepas apakah mereka percaya pada sang pencipta atau tidak, apakah mereka percaya pada hari akhir atau tidak.
Kecenderungan ini menyebabkan ilmu pengetahuan lepas dari konteks ketuhanan dan etika. Ilmu sekadar menjadi sebuah ilmu. Ilmu bersifat sekuler dan materialistik. Bahkan etika dan akhlak manusia pun, tunduk pada teori dan kaedah-kaedah yang sifatnya materialistik. Aturan sesama manusia, sekadar berlandaskan pada sisi kepeningan duniawi semata.
Ada pula yang percaya bahwa ilmu pengetahuan, merupakan sesuatu yang bisa dirasionalkan. Jika tidak dapat dirasionalkan, maka ia bukan ilmu pengetahuan. Alam metafisik, jika ia bisa dirasionalkan, maka ia masuk dalam ranah ilmu. Para filsuf dan ulama kalam misalanya, mereka banyak merasionalkan berbagai pengetahuan terkait dengan alam metafisik. Bahkan bagi ulama kalam, mereka menggunakan logika alam fisik, guna membuktikan dan menjadikan justifikasi atas alam metafisik.
Sebagai umat Islam, tentu kita tidak akan menggunakan pengertian ilmu yang sekadar bias materialis saja. Ilmu dalam Islam lebih luas dan lebih mencakup, terkait dengan alam fisik dan alam metafisik. Ilmu adalah suatu pengetahuan terhadap segala sesuatu yang dapat memberikan manfaat bagi umat manusia. Ilmu mencakup segala sesuatu yang nampak diindera, atau tidak dapat diindera, sesuatu yang bisa dirasionalkan atau tidak dapat dirasionalkan, sesuatu yang dapat dibuktikan secara ilmiah, atau tidak. Segala sesuatu yang menjadi berita wahyu, meski tidak rasional, tidak empiris, tidak dapat diindera, ia tetap ilmu. Ia benar adanya.
Dalam Islam, antara agama dan ilmu pengetahuan berjalan seiring dan berdampingan. Ilmu bagian dari agama, bahkan agama selalu memerintahkan umatnya untuk menggali ilmu pengetahuan. Tidak ada benturan sama sekali antara imu dengan pengetahuan. Di dunia Islam, tidak pernah terjadi penyiksaan atau pembunuhan terhadap ilmuan, karena apa yang ia temukan dianggap bertentangan dengan doktrin agama.
Tentu ini berbeda dengan Barat, yang sempat terjadi ketegangan luar biasa antara para ilmuan dan agamawan. Di Barat, pernah terjadi penangkapan, interogasi dan bahkan pembunuhan para ilmuan, karena dianggap apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan doktrin gereja. Pada akhirnya, terjadi gesekan luar biasa dan dimenangkan oleh para ilmuan. Muncullah sekularisasi dalam segala bidang kehidupan. Ilmu adalah ilmu, sementara dewan gereja sekadar mengurus persoalan spiritualitas manusia dengan Tuhan. Gereja tidak boleh turut campur terhadap persoalan keilmuan.
Sekularisasi yang bermula dari pemisahan sains dan gereja, menjalar kepada persoalan sosial-politik. Dewan gereja hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan sifatnya sangat privat. Manusia dibiarkan mengurus dirinya sendiri dengan menentukan nilai dan norma sendiri jauh dari dewan gereja. Di dunia politik, agama tidak boleh masuk dalam urusan pemerintahan. Politik urusan publik, sementara agama urusan privat. Hukum yang berlaku di dunia politik adalah hukum yang diletakkan manusia berdasarkan pada kesepakatan bersama. Oleh Rousseau, disebut dengan “kontrak sosial”. Inilah wujud dari negara sekuler itu.
Jika kita membaca kitab suci al-Quran dan sunnah nabi, bertebaran perintah bagi umat Islam untuk menuntut ilmu pengetahuan. Tentu saja pengetahuan secara luas, menyangkut alam fisik dan metafisik, sesuatu yang rasional dan tidak rasional, sesuatu yang bisa diindera dan tidak bisa diindera. Bahkan menurut syaikh Tanthawi al-Jauhari, bahwa dalam al-Quran terdapat lebih dari 800 ayat al-Quran yang terkait dengan alam raya. Sementara ayat al-Quran yang berbicara tentang fikih, tidak lebih dari 100 ayat saja. Ini membuktikan bahwa al-Quran sama sekali tidak bertentangan dengan sains.
Jika kita membaca kitab tafsir mafatihul ghaib karya Imam Razi, kita akan menemukan tafsir ayat al-Quran terkait dengan alam raya dan juga sains. Saat ini, muncul banyak ilmuan muslim yang juga mengkaji sains moder dengan merujuk pada kitab suci. Tengok saja misalnya Tantawi al-Jauhari, Harun an-Najjar, dan lain-lain. Di Indonesia sendiri, kita mengenal Kyai Agus Purwanto yang telah menelurkan buku Ayat-ayat Semesta yang mengupas ayat al-Quran dari kacamata sains. Kenyataannya, para ilmuan tidak menemukan benturan antara ilmu dan wahyu.
Hal ini dibuktikan dengan banyaknya ayat al-Qur’an maupun al-hadits yang menyeru manusia agar selalu mencari ilmu pengetahuan. Firman Allah, “Katakanlah, adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui”? (QS:Azzumar:9). “Katakanlah, “sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha Mengetahuisegala yang ghaib. (QS:Saba:48).
Rasulullah saw pernah bersabda, “Menuntut ilmu wajib hukumnya bagi setiap orang muslim”. Dalam hadits lain, Rasulullah bersabda, “Barang siapa berjalan untuk mencari ilmu pengetahuan, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju syurga. (HR: Muslim). Rasulullah juga memerintahkan umatnya agar selalu menuntut ilmu dimanapun ia berada dan betapapun jarak yang harus ia tempuh. Sabda Rasul saw, “Tuntutlah ilmu meskipun sampai ke negeri Cina” (HR: Baihaqi).
Dalam kitab-kitab hadits, banyak kita dapati sabda rasulullah saw yang berkaitan erat dengan perintah agama agar manusia selalu menuntut ilmu pengetahuan. Bahkan, kitab-kitab hadits sering memberikan tempat khusus mengenai bab ilmu.
Perhatikan beberapa ayat berikut ini:
Artinya: “Dan Dia menundukkan pula apa yang Dia ciptakan untuk kamu di bumi ini dengan berlain-lain macamnya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang mengambil pelajaran” (QS An nahl: 13).
Firman Allah “Bawalah kepada-Ku kitab sebelum al Qur’an ini atau peninggalan dari pengetahuan orang-orang dahulu, jika kamu adalah orang-orang yang benar (QS: al Ahqaf: 4).
Sabda Rasulullah saw, “Berfikirlah pada ciptaanku, dan jangan kau berfikir tentang dzat-Ku”. Ibnu Rusyd permah berkata, “Jika syari’ah ini benar adanya dan ia menyeru agar selalu berpikir untuk mencapai kepada pengetahuan kebenaran, maka kita sebagai orang Islam sama-sama sudah mengetahui bahwa berpikir secara argumentatif tidak akan bertentangan dengan apa yang terdapat dalam syarî’ah, karena kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran, namun akan selalu sesuai dan menjadi saksi kebenaran” .
Ibnu Taimiyah dalam kitab Arrisalah al-Arsyiyyah mengatakan sebagai berikut, “Semua yang disampaikan oleh nabi Muhammad saw adalah benar. Satu sama lain saling menguatkan. Ia selaras dengan fitrah manusia, akal yang jernih dan tujuan yang benar. Syariah yang datang dari Rasulullah saw tidak akan bertentangan dengan akal yang jernih, tujuan yang benar, dan fitrah yang lurus. Hanya mereka yang salah paham terhadap nas, atau salah memahami dalil, atau melihat sesuatu dianggap sebagai sesuatu yang terkait dengan logika padahal tidak, atau mengira itu bagian dari kasyaf padahal bukan, sehingga dia mengira ada kontradiksi antara akal dengan naql. Jadi apa yang dibawa oleh Nabi, dia dustakan. Atau dia mengira suatu nas menunjukkan atas sesuatu makna, padahal ia bukan dari makna tadi.
Dalam kitab Miftahu Darissa’adah, Ibnu Taimiyah juga mengatakan sebagai berikut, “Para rasul datang untuk berdialog dengan akal. Oleh karena itu, ketika seorang arab badui ditanya, bagaimana dia mengenal Allah? Allah tidak akan memerintahkan sesuatu, sementara akal melarang sesuatu yang lain, atau Allah melarang sesuatu, sementara akal memerintahkan sesuatu yang lain.
Senada dengan pernyataan di atas, disampaikan oleh Imam Ghazali dalam kitab al-Iqtishad fil I’tiqad. Menurut Ghazali bahwa kalangan hasyawiyah sangat jumud dalam memahami nas dan hanya melihat pada makna zhahir nas saja. Sementara itu, kalangan muktazilah dan para filsuf melihat nas secara berlebihan sehingga melakukan berbagai macam takwil yang tidak semestinya.
Menurut Ghazali, bahwa pemahaman yang sesuai dan benar, sesungguhnya adalah pemahaman moderat dengan memahami nas dengan menggunakan akal secara proporsional. Antara nas dan akal, sama sekali tidak ada benturan. Menurutnya bahwa akal manusia, fungsinya adalah memahami apa yang tercantum dalam nas. Meski demikian, akal manusia juga harus sesuai dengan petunjuk dan garis yang telah ditentukan oleh nas. Nas dengan akal merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi. Manusia tidak bisa hanya mencukupkan diri pada salah satu dari keduanya. Orang yang memahami al-Quran tanpa menggunakan akal, ibarat orang berjalan di tengah siang benderang, namun ia memecamkan mata. Sinar matahari sama sekali tidak berguna bagi dirinya. Akal jika digabungkan dengan nas, bagaikan cahaya di atas cahaya. Ia menjadi petunjuk yang terang benderang.
Jika kita membuka kitab-kitab ilmu kalam, kita akan menemukan bahwa bab ilmu, umumnya masuk dalam bab-bab awal. Hal ini karena ilmu pengetahuan merupakan titik terpenting seseorang memahami sesuatu. Tanpa ilmu, manusia tidak akan mengetahui apapun. Sesuatu yang membedakan antara manusia dengan makhluk lain di muka bumi ini adalah ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pula, manusia dapat mengemban amanat besar, yaitu menjadi khalifah di muka bumi.
Ilmu masuk bab awal, juga sebagai respon ulama kalam terhadap pandangan para filsuf Yunani dari kalangan kaum sophis yang meragukan adanya ilmu pengetahuan. Para ulama kalam ingin menunjukkan dan membuktikan bahwa ilmu pengetahuan memang ada dan manusia sangat mungkin mendapatkan ilmu pengetahuan.
Apakah ilmu itu? Imam Haramain mendefinisikan ilmu sebagai berikut: Ilmu adalah mengetahui sesuatu, sama persis atas sesuatu tersebut sesuai dengan alam realita. Jadi ilmu merupakan pengetahuan atas sesuatu. Abu Bakar al-Baqilani, salah satu ulama kalam dari madzhab Asyari, dalam kitab al-Inshaf menyatakan sebagai berikut:
Mengenal sesuatu seperti aslinya. Semua ilmu adalah pengetahuan dan semua pengetahuan adalah ilmu. Di sini, Abu Bakar al-Baqilani tidak membedakan antara ilmu dengan pengetahuan. Keduanya adalah satu entitas yang sama. Jika disebut ilmu, maksudnya adalah pengetahuan dan demikian juga sebaliknya.
Ibnu Furak, salah seorang murid dari Imam Abu Hasan al-Asyari, seperti yang dinukil oleh Imam Baqilani dalam kitab at-Taqrib wa al-Irsyad menyatakan sebagai berikut:
Ilmu adalah sesuatu yang dapat diketahui. Jika Allah yang qadim dianggap mengetahui berbagai pengetahuan, maka Allah juga harus disifati dengan Alim atau kata yang sepadan dengannya.
Imam Ghazali dalam kitab al-Mustasfa fi Ilmil Ushul mengatakan sebagai berikut: Ilmu adalah gambaran sesuatu pada akal manusia sehingga gambaran sesuatu tersebut tertanam kuat dalam dirinya.
Dari berbagai uraian di atas, para ulama kalam sepakat bahwa yang dimaksudkan dengan ilmu adalah pengetahuan atas sesuatu, di mana pengetahuan itu sama persis dengan sesuatu aslinya. Pengetahuan sendiri, letaknya dalam akal manusia, sementara akal sifatnya abstrak. Ilmu pengetahuan juga bersifat abstrak yang terdapat pada otak manusia.
Para ulama kalam membagi ilmu menjadi dua, yaitu ilmu qadim dan ilmu baharu (hadis). Ilmu qadim maksudnya adalah ilmu yang sifatnya qadim tanpa bermula, azal dan tiada akan berahir. Ilmu tersebut sifatnya mengetahui segala sesuatu, baik yang belum terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi. ilmu qadim menjadi sifat Tuhan yang qadim. Ia adalah ilmu Allah.
Sementara yang kedua, yaitu ilmu baharu (hadis) yaitu ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh makhluk. Ilmu tersebut dikatakan baharu (hadis) karena ia bermula dan berakhir. Ilmu baharu sifatnya sangat terbatas. Ilmu baharu menjadi sifat bagi makhluk. Ilmu baharu dimiliki oleh manusia, jin dan para malaikat.
Terkait dengan ilmu makhluk, para ulama kalam membagi menjadi dua, yaitu ilmu dharuri dan ilmu nazhari. Ilmu dharuri adalah pengetahuan atas sesuatu secara langsung tanpa butuh proses berfikir lama. Contoh, pengetahuan manusia bahwa api panas. Pengetahuan ini tidak butuh waktu lama. Demikian juga pengetahuan seseorang bahwa es dingin, atau langit di atas, dan bumi dibawah kita.
Menurut Imam Amidi, seseorang tidak mengetahui ilmu dharuri, atau tidak mengetahui sebagian dari ilmu dharuri, dia dianggap kurang akal atau bahkan tidak berakal. Contoh seperti seseorang yang tidak tahu bahwa api sifatnya panas, maka orang ini jelas kurang akalnya. Bias jadi ia masih kecil, atau hilang ingatan atau gila.
Kedua adalah ilmu nazhari, yaitu ilmu pengetahuan yang membutuhkan pemikiran. Oleh karena ia butuh proses berfikir, maka tidak semua orang dapat mengetahui ilmu tersebut. Contohnya adalah ilmu pengetahuan dalam bidang ilmu tertentu seperti matematika, kedokteran, struktur bahasa, detail persoalan fikih, tafsir dan lain sebagainya. Ilmu-ilmu tersebut tidak diketahui oleh semua orang. Hanya mereka yang mau belajar yang akan mendapatkan ilmu-ilmu tersebut. Ilmu nazhari juga sering disebut dengan ilmu istidlali, karena ia butuh bukti dan argumen kuat.
Terkait dengan pembagian ilmu menjadi dharuri dan nazhari ini, Qadhi Abu Bakar al-Baqilani mengatakan sebagai berikut:
Ilmu dibagi menjadi dua, yaitu ilmu Allah yang merupakan sifat atas dzat-Nya. Ia tidak terkait dengan ilmu dharuri atau istidlali. Firman Allah, “Allah menurunkannya dengan Ilmunya (QS. An-Nisa: 165). Allah juga berfirman, “Dan tidak seorang perempuan pun mengandung dan tidak (pula) melahirkan, melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS. Fathir: 11) , Firman Allah, “Ketahuilah bahwa)al-Quran) itu diturunkan dengan pengetahuan-Nya (Hud: 14).
Di sini Allah mengukuhkan mengenai ilmu-Nya dan dinyatakan bahwa ilmu Allah tersebut merupakan sifat-Nya.
Yang kedua adalah ilmu makhluk yang dibagi menjadi dua, yaitu ilmu dharuri dan ilmu nazhari istidlali. Ilmu dharuri adalah ilmu yang diketahui oleh seseorang secara pasti tanpa ada keraguan atas sesuatu itu. Contohnya adalah ilmu yang dapat diketahui oleh panca indera yang lima, atau sesuatu yang diketahui dalam diri seseorang secara aksiomatis. Ilmu nazhari adalah ilmu yang didapat dengan cara proses berfikir. Ia menjadi sarana untuk berargumen. Ciri-ciri ilmu ini bahwa ia boleh dikoreksi. Ia juga bisa ragu terhadap eksistensi ilmu tersebut.
Imam Juwaini menyatakan sebagai berikut:
Ilmu terbagi menjadi dua, qadim dan baharu (hadis). Ilmu qadim adalah ilmu yang merupakan sifat Allah yang menyertai dzat, yang terkait dengan pengetahuan tanpa batas, yang harus ada pada Tuhan, sifatnya menyeluruh, bukan terkait dengan ilmu dharuri atau hasbi.
Kedua adalah ilmu baharu (hadis), yaitu dibagi menjadi ilmu dharuri, ilmu badihi, dan ilmu kasbi. Dharuri adalah ilmu baharu (hadis) yang diterima oleh manusia tanpa usaha, karena kebutuhan tertentu. Kedua, ilmu badihi, yaitu seperti ilmu dharuri, hanya saja, ia tidak terikat dengan kebutuhan. Kedua, ilmu itu sering disebut dengan ilmu dharuri saja. Ilmu dharuri sifatnya pasti dan tidak meragukan, seperti pengetahuan yang muncul dari panca indera, pengetahuan seseorang tentang wujud dirinya dan pengetahuan bahwa mustahil ada dua hal yang saling bertentangan menyatu. Kedua ilmu hasbi, yaitu ilmu baharu (hadis) yang terkait dengan kemampuan makhluk yang sifatnya hadis.
Bagi yang hendak wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun yang diasuh oleh Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +20112000489