Memakai Celana atau Sarung Di Bawah Mata Kaki

Pertanyaan Dari: Siswa SMU Muhammadiyah di Yogyakarta Pertanyaan: Kami siswa SMU Muhammadiyah diresahkan dengan adanya brosur yang dicetak rapi oleh kelompok yang tidak jelas jati

Admin

[addtoany]

Pertanyaan Dari:

Siswa SMU Muhammadiyah di Yogyakarta

Pertanyaan:

Kami siswa SMU Muhammadiyah diresahkan dengan adanya brosur yang dicetak rapi oleh kelompok yang tidak jelas jati dirinya, dimana isi brosur itu: “Sholat kalau tertutup mata kaki, tidak sah, alias haram hukumnya. Dengan ini kami mohon penjelasan dari Majelis Tarjih, semoga keresahan kami menjadi hilang. Wassalam.

Jawaban:

Kami telah mempelajari isi brosur itu, dan memang isinya bisa meresahkan bagi anda-anda yang belum menguasai ajaran Islam secara mendalam. Kesalahan mendasar isi brosur itu bukan terletak pada hadis-hadis yang dikutip di situ, tetapi kesalahan itu terletak pada cara pemahaman dan penetapan (istimbat) hukumnya dari dalil-dalil hadis yang ada dalam brosur itu. Untuk jelasnya ikutilah penjelasan singkat berikut ini:

Memang benar ada sejumlah hadis yang menerangkan “menurunkan pakaian di bawah mata kaki” menyentuh tanah dicela oleh syara’, tetapi harus diingat, “celaan itu berkaitan dengan sifat sombong/angkuh” dari si pemakai pakaian itu. Dan hadis itu sebenarnya berkaitan dengan adab/akhlaq. Di bawah ini kami sebutkan sebahagian hadis-hadis itu, antara lain yaitu:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَا يَنْظُرُ اللهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلَاءَ. [متفق عليه]

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: Allah tidak memandang kepada orang yang memanjang (menyeret) pakaiannya dalam keadaan sombong.” [HR al-Bukhari dan Muslim]

Dimaksud, tidak dipandang oleh Allah dengan pandangan kasih sayangnya artinya Allah tidak memberi rahmat kepada orang yang memanjangkan/menyeret celananya (sampai ke tanah) karena sombong/amgkuhnya itu, baik pria maupun wanita. Hal ini lebih jelas kalau dihubungkan dengan hadis lain riwayat al-Bukhari berikut ini:

مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فِى النَّارِ. [رواه البخاري]

Artinya: “Sesuatu yang berada di bawah dua mata kaki dari kain sarung itu di dalam neraka”

Yang dimaksud oleh hadis itu, yaitu orang yang memanjangkan kain sarungnya dalam neraka “karena kesombongan”. Hal itu menunjukkan orang yang memanjangkan pakaian sampai di bawah tumit atau menyentuh tanah, kalau tanpa disertai sifat sombong, maka tidak termasuk dalam ancaman itu. Hal tersebut dijelaskan oleh hadis lain riwayat al-Bukhari, Abu Daud dan an-Nasai, bahwa Abu Bakar ra berkata kepada Nabi saw setelah mendengar hadis tersebut: “Sesungguhnya kain sarungku selalu melorot ke bawah kecuali saya menaikkannya”, lalu Rasulullah saw menjawab kepada Abu Bakar ra:

“Sesungguhnya engkau bukan termasuk yang melakukanya dengan sombong.”

Begitu juga hadis Nabi saw riwayat Abu Daud dari sahabat Ibnu Mas’ud:

مَنْ أَسْبَلَ إِزَارَهُ فِى صَلَاتِهِ خُيَلَاءَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ جَلَّ ذِكْرُهُ فِى حَلٍّ وَلَا حَرَامٍ. [رواه أبو داود]

Artinya: “Barangsiapa yang memanjangkan sarungnya dalam shalatnya karena sombong, maka ia di hadapan Allah seperti orang yang tidak mengenal halal dan haram.”

Dalam melihat hadis soal menawarkan pakaian di bawah mata kaki, yang popular dengan istilah “isbal”, kita haruslah mengumpulkan hadis-hadis tersebut baik yang illatnya dengan jelas disebutkan, yaitu “sombong” atau hadis-hadis yang tidak menyebut illatnya. Kemudian dalam kita menetapkan hukum (istimbat), tidak boleh menurut apa adanya, tetapi kepada muqayyad dengan sifat “khufala (sombong)” harus dihubungkan dengan lafadl mutlak yang tidak menyebutkan illatnya. Di sini kita perlu memakai kaidah hukum yang dipakai ulama ushul fiqih/para ahli ijtihad, yaitu:

حَمْلُ اْلمُطْلَقِ عَلَى اْلمُقَيَّدِ إِذَا لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ مُتَضَادَّيْنِ أَوْ مُخْتَلِفَيْنِ، فَإِنْ كَانَ هُنَاكَ مُقَيَّدَانِ فَلاَ يُحْمَلُ اْلمُطْلَقُ عَلَى اْلمُقَيَّدِ.

Artinya: “Lafadl mutlak dibawa kepada muqayyad dengan ketentuan di situ dua muqayyad itu tidak paradok/berbeda. Jika berbeda maka muqayyad itu tidak dibawa kepada yang mutlak. Contohnya cukup banyak, bisa dilihat di dalam al-Qur’an dan di dalam hadis.” [baca kitab ushul fiqih bab Mutlak dan Muqayyad]

Dengan singkat dapat dikatakan bahwa pemahaman yang dilakukan oleh pengarang brosur itu, walaupun hadis-hadis yang dinukilkan benar dan shohih, tetapi keliru dalam cara penetapan hukumnya, yaitu mereka tidak memperhatikan illat yang dinashkan (disebutkan) dalam hadis itu serta tidak menjabarkan istimbat yang lazim dipakai para pakar hukum Islam, yaitu apabila bertemu lafadl mutlak dan muqayyad, maka lafadl mutlak harus dibawa/ditarik kepada yang muqayyad.

Dikatakan oleh ash-Shan’aniy (pengarang kitab Subulus-Salam): “Pakaian yang lebih dari itu (artinya menutupi mata kaki) sesungguhnya tidak berdosa bagi pelakunya dan pakaian yang lebih dari kedua mata kaki, itu baru haram kalau pemakaiannya untuk kesombongan/keangkuhan”.

Demikian jawaban singkat kami semoga duduk persoalannya menjadi jelas bagi saudara dan tidak lagi terombang-ambing oleh cara penetapan hukum (istimbat) yang tidak benar itu.

 

Wallahu a’lam bish-shawab.

Suara Muhammadiyah No. 3 tahun ke-87 1422 / 2002

 

Sumber: www.tarjih.or.id

Related Post