Tanya:
Assalamu’alaikum Ustadz. Ijin mengajukan pertanyaan.
Seringkali kami mendengar dari para Ustadz bahwa hadits dhoif bisa diamalkan jika itu berkaitan dengan fadhail amal. Seperti doa ketika masuk bulan Rajab, doa mau makan (allahumma bariklana dst), doa berbuka puasa (allahumma lakasumtu dst), dan sebagainya. Namun ada sebagian kalangan yang mengatakan bahwa hadits dhoif tidak bisa diamalkan. Dalilnya HR Muslim “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang bukan berasal dari kami, maka amalan tersebut tertolak”.
Apakah sudah tepat jika amalan dengan hadits dhoif dijawab dengan HR Muslim tersebut?
Sebenarnya, apa yang dimaksud oleh Rasulullah SAW tentang amalan yang bukan berasal dari kami di dalam hadits tersebut? (Lintang Puspondalu – Kota Palu)
Jawab:
Wa’alaikum salam
Soal Hadis dhaif, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, apakah boleh diamalkan atau tidak. Untuk ibadah dan perkara halal haram, para ulama mengatakan bahwa hadis dhaif tidak bisa digunakan. Adapun untuk fadhailul a’mal (keutamaan amal), ada yang bilang boleh dan ada juga yang tidak membolehkan.
Mahmud Ath-Thahhan menyebutkan sebagai berikut:
اِخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي الْعَمَلِ بِالْحَدِيْثِ الضَّعِيْفِ، الَّذِيْ عَلَيْهِ جُمْهُوْرِ الْعُلَمَاءِ أَنَّهٌ يُسْتَحَبُّ الْعَمَلُ بِهِ فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ
Ulama berbeda pendapat dalam mengamalkan hadis dhaif. Pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama adalah disunnahkan mengamalkan hadis dhaif dalam masalah fadhail a’mal (keutamaan amal-amal yang baik).
Jika ada hadis lain yang bersumber dari shahih Bukhari atau Muslim, tentu harus digunakan hadis Bukhari Muslim karena para ulama mengatakan bahwa hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dijamin shahih.
Amalan yang bukan dari kami itu diambil dari hadis berikut:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan kami ini (urusan agama) yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak” (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718)
Maksudnya adalah membuat ibadah baru yang tidak ada sandaran dalilnya, baik dalil am (umum) atau khas (khusus). Misalnya shalat subuh 3 raka’at, maka itu bid’ah. Wallahu a’lam.
(Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M.)