Saatnya Warga Muhammadiyah Beli Bank Syariah!

Warga Muhammadiyah sangat menghormati fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah. Setiap sikap keagamaan mereka biasanya berpedoman pada putusan MTT. Oleh karena itu, saya

Admin

[addtoany]

Warga Muhammadiyah sangat menghormati fatwa-fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) PP Muhammadiyah. Setiap sikap keagamaan mereka biasanya berpedoman pada putusan MTT. Oleh karena itu, saya mulai tulisan kali ini dengan fatwa MTT PP Muhammadiyah tentang bunga bank.

Dalam putusan fatwanya, yang dimuat dalam Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah Jilid 3 halaman 203, poin pertama menjelaskan bahwa ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang berbasiskan nilai-nilai syariah antara lain berupa keadilan, kejujuran, bebas bunga, dan memiliki komitmen terhadap peningkatan kesejahteraan bersama. Poin kedua, menghimbau warga Muhammadiyah untuk terlibat secara aktif dalam mengembangkan dan mengadvokasi ekonomi Islam dalam kerangka kesejahteraan bersama.

Pertanyaannya, sudah sejauh mana Muhammadiyah mengusahakan pengembangan ekonomi syariah, sejak terbitnya fatwa tersebut pada tahun 2006? Jika saya amati, Muhammadiyah lebih banyak membuat koperasi syariah atau Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM). Apa tidak terpikirkan untuk memiliki Bank Umum Syariah (BUS)? Saya yakin ada yang berpikir soal ini, bahkan di media sosial banyak warga berharap Muhammadiyah bisa memiliki bank syariah.

Kelompok pesimis biasanya berdalil dengan gagalnya Bank Persyarikatan yang pernah diakuisisi Muhammadiyah. Saya menemukan tulisan soal kisruh Bank Persyarikatan di detik.com. tulisan tersebut dipublikasi tahun 2004. Saat itu, saya masih kelas 7 di SMP Muhammadiyah Pamijahan Bogor. Saya tidak bisa memahami secara utuh persoalan tersebut meski membaca artikel tentangnya hari ini. Anda bisa bertanya pada tokoh-tokoh yang mengalami masa itu. Sekarang kita bahas masa depan saja, sambil pelan-pelan berusaha menghindari hal-hal yang dapat mengulang kegagalan.

Kisah Sukses Ustadz Yusuf Mansur (UYM)

Saat BRI Syariah (BRIS) pertama kali menawarkan penjualan saham perdana (biasa dikenal dengan istilah IPO) pada 2018, UYM sangat bersemangat membeli sahamnya. Saat ditawarkan pertama kali, harga saham BRIS dihargai Rp 510 per lembar. Saham BRIS terus mengalami penurunan sampai level harga Rp 300, sampai suatu saat Menteri BUMN Erick Thohir berencana menyatukan Bank Syariah milik BUMN. BRIS termasuk ke dalam rencana itu. Merger sendiri akan dilakukan tahun 2021. Harga saham BRIS pun melambung. Per tanggal 8 Desember 2020, harga saham BRIS berada di level Rp 1.400 per lembar.

Mari berhitung secara kasar. Hitungan di bawah ini benar-benar untuk yang sama sekali tidak paham soal saham. Minimal pembelian saham adalah 100 lembar atau biasa disebut 1 lot. Kita asumsikan UYM membeli 10.000 lot saham BRIS.

Banyaknya lembar saham:
10.000 lot x 100 lembar = 1.000.000 lembar

Harga IPO:
1.000.000 lembar x Rp 510 = Rp 510.000.000

Harga 8 Desember 2020:
1.000.000 lembar x Rp 1.460 = Rp 1.460.000.000

Sekali lagi, ini hanya asumsi jika UYM membeli 10.000 lot saham BRIS. Dalam dua tahun, nilai sahamnya berpotensi untung sebesar Rp 950.000.000. Saya kok yakin kepemilikan beliau lebih dari itu. Sebenarnya yang saya ingin sampaikan bukan hanya berapa rupiah potensi keuntungan yang bisa diperoleh UYM, tapi juga soal semangat beliau bahwa perputaran roda ekonomi, apalagi ekonomi syariah, harus dikendalikan oleh ummat Islam. Beberapa bank syariah memang dimiliki oleh non muslim. Selain membeli saham BRIS, beliau juga membeli saham Tempo Inti Media yang mengelola media-media dengan merk Tempo.

Muhammadiyah Bisa Belajar dari UYM

Kiai Dahlan merupakan tokoh yang terbuka untuk belajar kepada siapa saja dan di mana saja. Ide sekolah pakai meja dan bangku beliau dapatkan dari sekolah-sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda. Contoh lain, Kepanduan Hizbul Wathan, yang awalnya bernama Padvinder Muhammadiyah, terinspirasi dari Kepanduan Mangkunegaran. Kiai Dahlan memakai sistem ATM (Amati, Tiru, Modifikasi). Beliau memberi nafas-nafas keislaman terhadap apapun ide yang diserapnya.

Prinsip ini bisa kita terapkan untuk kasus Bank Syariah. Muhammadiyah bisa meniru cara UYM membeli saham bank syariah. Lebih dari itu, Muhammadiyah bisa membeli saham mayoritas. Tambahan catatan, mayoritas saham BRIS dimiliki oleh negara, bukan UYM. Beliau hanya punya 5% dari saham publik dijual.

Saatnya Warga Muhammadiyah Punya Bank!

Sebelumnya, pada Juli 2020, ketua MPR Bambang Soesatyo ternyata pernah menyarankan Muhammadiyah dan NU membeli saham Bank Muamalat. Kinerja bank syariah pertama di Indonesia ini memang sedang tidak baik. Nah, mari berandai-andai Muhammadiyah membeli saham mayoritas Bank Muamalat, sehingga Muhammadiyah bisa menjadi penentu kebijakan ke arah mana bisnis bank ini akan bergerak.

Kenapa tidak bikin baru saja? Pastinya akan berat. Selain biayanya mahal, branding juga bukan sesuatu yang mudah. Bank Muamalat sudah punya corporate branding sebagai bank syariah pertama di Indonesia. Meskipun biaya akuisisi juga tidak murah, namun tetap lebih efisien dari pada membuat bank dari nol.

Setelah Muhammadiyah mengambil alih Bank Muamalat, selanjutnya adalah memilih orang-orang yang kompeten untuk jajaran direksi perusahaan. Langkah ini sangat menentukan, harus sangat berhati-hati. Direksi merupakan pihak yang menjalankan kebijakan dan operasional bank. Pimpinan Pusat sendiri cukup sebagai Komisaris, mengawasi jalannya aktivitas perbankan. Tahun-tahun awal tentu akan berat, Bank Muamalat harus memperbaiki kinerja.

Jika kinerja membaik dan laporan keuangan bagus, langkah selanjutnya adalah menjual saham ke publik (IPO). Di sinilah warga Muhammadiyah bisa ikut memiliki saham Bank Muamalat. Kita ambil contoh misalnya harga saham Bank Muamalat setelah diakuisisi Muhammadiyah yaitu Rp 1.000, maka hanya perlu Rp 100.000 untuk membeli 1 lot sahamnya. Dengan Rp 100.000, anda sudah jadi pemilik Bank Syariah milik persyarikatan! Kerahkan anggota IMM, kader Pemuda Muhammadiyah, kader IPM yang sudah ber-KTP, kader NA, dan tentu saja pengurus-pengurus Muhammadiyah Aisyiyah untuk membeli sahamnya.

Biasanya, penjualan saham perdana ke publik mendatangkan uang yang besar. Dana ini nantinya bisa digunakan untuk membangun infrastruktur yang diperlukan, mengingat saat ini kita lihat Bank Muamalat tidak banyak mempunyai fasilitas ATM. Lembaga pendidikan dan kesehatan ataupun lembaga lain milik persyarikatan, harus ada ATM Muamalat. Semua keuangan AUM disimpan di bank ini. Potensi penghimpunan dananya besar sekali.

Fokus pembiayaan juga bisa ditentukan oleh PP Muhammadiyah, misalnya menyalurkan produk KURMA (Kredit Usaha Rakyat Muhammadiyah Aisyiah). Warga Muhammadiyah terutama yang berusaha di bidang UMKM tidak akan sulit lagi mengakses pembiayaan di perbankan. Tentu dengan margin yang kompetitif.

Saya yakin mayoritas warga Muhammadiyah tidak terlalu memikirkan soal keuntungannya. Memiliki 1 lot sahamnya saja akan menjadi kebanggaan, karena bank syariah ini akan menjadi milik bersama warga lainnya. Bahkan bukan tidak mungkin di jajaran pemilik sahamnya ada seorang kiai pemilik pesantren NU, karena saham publik artinya bisa dibeli oleh siapapun.

Jika ada yang berpikir urusan keuntungan, tenang saja, ada untungnya kok. Bagi warga yang punya pengalaman menyimpan uang di koperasi, pasti tahu agenda Rapat Akhir Tahun (RAT), kan? Koperasi membagikan Sisa Hasil Usaha (SHU) kepada anggota sebagai keuntungan menyimpan uang di koperasi. Di perusahaan yang sudah menjual sahamnya ke publik, setiap tahun akan ada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), di mana salah satu agendanya membagikan keuntungan yang biasa disebut dengan dividen. Besaran penerimaan dividen bergantung pada seberapa besar kepemilikan saham kita. Semakin banyak lembar saham yang kita punya, semakin besar dividen yang diterima.

Ingat ya, tulisan ini hanya berisi mimpi-mimpi. Bermimpi tentu saja gratis. Yang mahal itu membeli saham mayoritas bank syariah. Jika sudah siap punya bank syariah, silahkan wujudkan mimpi ini jadi kenyataan. Ayo meraihnya bersama-sama.

(Muhammad Muflih)

Related Post