Tanya:
Assalamualaikum ustad
Di Mesjid kami darul Arqom melaksanakan taraweh 4-4-3 sesuai hadish Aisyah
Apakah menurut madzhab Syafi’i itu tidak sah? Bagaimana madzhab Syafi’i sehingga menganggap itu tdk sah?
Pemahaman hadish Aisyah sebenarnya bagaimana? Terimakasih (Delfian Thanta – Bolaang Mongondow)
Jawab:
Wa’alaikum salam
Shalat tarawih adalah sunnah yang baik untuk dikerjakan sebagaimana hadis berikut:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa yang salat malam di bulan Ramadhan (salat tarawih) karena keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampunkanlah dosa-dosanya yang telah lalu” (HR. Bukhari no. 37 dan Muslim no. 759).
Untuk jumlah shalat tarawih, menurut madzhab Syafii, minimal 20 rekaat. Hanya yang dirajihkan oleh Muhammadiyah adalah 8 rekaat.
Muhammadiyah merajihkan bahwa jumlah maksimal adalah 8 rekaat dengan hadis Aisyah berikut:
عَنْ عَائِشَةَ زَوْجِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى فِيمَا بَيْنَ أَنْ يَفْرُغَ مِنْ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَهِىَ الَّتِى يَدْعُو النَّاسُ الْعَتَمَةَ إِلَى الْفَجْرِ إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُسَلِّمُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ وَيُوتِرُ بِوَاحِدَةٍ [رواه مسلم]
Artinya: Dari ‘Ā’isyah, istri Nabi saw, (diriwayatkan bahwa) ia berkata, “Pernah Rasulullah melakukan salat pada waktu antara setelah selesai Isya yang dikenal orang dengan ‘Atamah hingga Subuh sebanyak sebelas rakaat di mana beliau salam pada tiap-tiap dua rakaat, dan beliau salat witir satu rakaat [H.R Muslim].
Untuk yang 23 rekaat, seperti yang disebutkan oleh imam Nawawi dalam kitab majmu, mendalilkan dari perbuatan Khalifah Umar bin Khatab ra dan tradisi masyarakat Madinah.
Nabi Muhammad Saw bersabda:
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّّتِيْ, وَسُنَّةِ الخُلَفَآءِ الرَّاشِدِيْنَ مِنْ بَعْدِيْ
Artinya: “Maka hendaklah kamu berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah al-Khulafa’ al-Rasyidun sesudah aku “. (Musnad Ahmad bin Hanbal).
Hanya saja, riwayat yang mengatakan bahwa Umar bin Khatab shalat 20 rekaat, ternyata juga tidak ijmak. Sebagian riwayat mengatakan bahwa Umar shalat 11 rekaat.
Dalam kitab muwatha imam Malik dikatakan:
:” أمر عمرُ بنُ الخطابِ أبيَّ بنَ كعبٍ، وتميماً الدّاريَّ أنْ يقوما للنّاس بإحدى عشرةَ ركعةً، وقد كان القارئُ يقرأ بالمئينَ، حتى كنّا نعتمدُ على العِصيّ مِن طولِ القِيام، وما كنّا ننصرفُ إلا في فروعِ الفجرِ
Umar bin Khathab memerintahkan Ubai bin kaab dan Taim bin ad dari untuk jadi imam shalat (tarawih) 11 rekaat. Imamnya kadang membaca ayat miain (Baqarah dan Ali Imran) sampai kita berpegangan tongkat saking lamanya berdiri. Kami baru selesai shalat menjelang fajar.
Selain itu, hadis yang biasa dijadikan hujjah untuk mereka yang shalat tarawih lebih dari 8 rekaat adalah hadis berikut:
أَنَّهُ صلّى الله عليه وسلّم خَرَجَ مِنْ جَوْفِ اللَّيْلِ لَيَالِيْ مِنْ رَمَضَانَ وَهِيَ ثَلاَثُ مُتَفَرِّّقَةٍ: لَيْلَةُ الثَالِثِ, وَالخَامِسِ, وَالسَّابِعِ وَالعِشْرِيْنَ, وَصَلَّى فِيْ المَسْجِدِ, وَصَلَّّى النَّاسُ بِصَلاَتِهِ فِيْهَا, وَكَانَ يُصَلِّّْي بِهِمْ ثَمَانِ رَكَعَاتٍ, وَيُكَمِّلُوْنَ بَاقِيْهَا فِيْ بُيُوْتِهِمْ. رواه الشيخان
Artinya: “Rasulullah SAW keluar untuk shalat malam di bulan Ramadlan sebanyak tiga tahap: malam ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh untuk shalat bersama umat di masjid, Rasulullah saw. shalat delapan raka’at, dan kemudian mereka menyempurnakan sisa shalatnya di rumah masing-masing. (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam Kitab Mukhtasor Almuzani Imam Syafi’i berkata: “Aku telah mendapati Ahli Madinah mengerjakan salat tarawih 36 rakaat, tetapi Aku lebih suka 20 karena mengikuti apa yang telah diriwayatkan dari Sayyidina Umar bin Khattab. Begitu juga telah menjadi amalan Ahlu Makkah mengerjakan salat tarawih dengan 20 rakaat ditambah dengan 3 rakaat witir. Imam At-Turmudzi juga meriwayatkan dalam kitab Sunannya, bahwa Salat Tarawih adalah 20 rakaat.
Hanya shalat tarawih 20 rekaat juga bukan ijmak dari ulama madzhab Syafi’i.
Ibnu Hajar Al haitsami mengatakan sebagai berikut:
: لم يصح أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى التراويح عشرين ركعة ، وما ورد أنه ” كان يصلي عشرين ركعة ” فهو شديد الضعف
Tidak ada berita yang shahih dari nabi Muhammad Saw bahwa beliau shalat tarawih 20 rekaat. Adapun riwayat yang menyatakan bahwa beliau shalat tarawih 20 rekaat, itu sangat lemah.
Imam Sayuti mengatakan sebagai berikut:
الذي وردت به الأحاديث الصحيحة والحسان الأمر بقيام رمضان والترغيب فيه من غير تخصيص بعدد ، ولم يثبت أن النبي صلى الله عليه وسلم صلى التراويح عشرين ركعة ، وإنما صلى ليالي صلاة لم يذكر عددها ، ثم تأخر في الليلة الرابعة خشية أن تفرض عليهم فيعجزوا عنها
Yang tercantum dalam hadis yang sahih dan hasan terkait dengan perintah qiyam ramadhan dan anjuran untuk itu, tidak dibatasi jumlah rekaat. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa nabi shalat tarawih 20 rekaat. Biau shalat di salah satu malam tidak disebutkan jumlah rekaatnya. Di malam ke 4 beliau tidak datang karena takut dikira wajib sementara umatnya ada yang lemah.
Imam Baihaqi menukil pendapat imam suyuti dalam kitab ma’rifatussunan wal atsar sebagai berikut:
وقال الإمامُ الشّافعيُّ: “وليس في شيءٍ مِن هذا ضِيقٌ ولا حدٌّ يُنتهى إليه؛ لأنّه نافلةٌ، (فإنْ أطالوا القيامَ وأقلّوا السّجودَ: فحسنٌ، وهو أحبُّ إليَّ، وإنْ أكثروا الركّوعَ والسجودَ: فحسنٌ”). نقله البيهقي في معرفة السنن والآثار.
Imam Syafi’i berkata, di sini tidak ada batas minimal atau maksimal karena ia shalat Nafilah. Jika ia berdirinya lama dan sujudnya sedikit, itu baik dan saya lebih suka cara ini. Jika ruku’ sujudnya banyak, itu juga baik.
Adapun formasi shalat, menurut madzhab Syafi’i seperti dalam kitab majmu adalah tiap dua rekaat satu kali salam dan setiap empat rekaat dilakukan istirahat sejenak. Dari istirahat tiap empat rekaat inilah makanya disebut tarawih. Syafi’iyah sendiri memang berpendapat bahwa formasi 4 rekaat sekali salam tidak sah. Dalam kitab Mughni muhtaj karya khathib asyarbini dikatakan sebagai berikut:
لو صلى أربعاً بتسليمة لم تصح؛ لأنه خلاف المشروع، بخلاف سنة الظهر والعصر، والفرق بينهما أن التراويح لمشروعية الجماعة فيها أشبهت الفرائض فلا تغير عما وردت”. “مغني المحتاج” (3 / 159).
Jika shalat empat rekaat sekali salam maka tidak sah, karena ini bertentangan dengan hukum syariat. Ini berbeda dengan sunah (rawatib) zhuhur dan ashar. Hal ini karena shalat tarawih yang disyariatkan untuk dilaksanakan secara berjamaah, mirip seperti shalat fardhu, makantidak boleh dirubah seperti yang telah tertulis (dalam hadis).
لو صلى في التراويح أربعا بتسليمة واحدة لم يصح فتبطل إن كان عامدا عالما، وإلا صارت نفلا مطلقا، وذلك لأن التراويح أشبهت الفرائض في طلب الجماعة فلا تغير عما ورد
Jika shalat tarawih empat rekaat sekali salam, maka shalatnya tidak sah dan shalatnya batal jika ia melakukan itu secara sengaja dan atas sepengetahuannya. Atau shalatnya sah, namun ia menjadi shalat Nafilah biasa. Hal itu karena shalat tarawih seperti shalat faraid dilihat dari sisi dilaksanakannya secara berjamaah. Makantidak boleh dirubah dari apa yang telah tercantum (dalam nas)
Hanya formasi 4+4 ini, dibolehkan oleh imam Nawawi sebagaimana dikutib dan dikomentari oleh Nashiruddin al-Albaniy dalam bukunya صلاة التراويح sebagai berikut:
وَصَدَقَ رَحِمَهُ اللهُ فَقَوْلُ الشَّافِعِيَّةِ يَجِبُ أَنْ يُسَلِّمَ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ فَإِذَا صَلاَّهَا بِسَلاَمٍ وَاحِدٍ لَمْ تَصِحُّ كَمَا فِي اْلفِقْهِ عَلَي اْلمَذَاهِبِ اْلأَرْبَعَةِ وَشَرْحِ اْلقَسْطَلاَنِي عَلَي اْلبُخَارِي وَغَيْرِهَا خِلاَفُ هَذَا اْلحَدِيْثِ الصَّحِيْحِ وَمَنَافٍ لَقَوْلِ النَّوَوِيِّ بِاْلجَوَازِ وَهُوَ مِنْ كِبَارِ اْلعُلَمَاءِ اْلمُحَقِّقِيْنَ فِي اْلمَذْهَبِ الشَّافِعِي فَلاَ عَذْرَ لِأَحَدٍ يُفْتِي بِخَلاَفِهِ (صلاة التراويح، ص: 17-18)
Artinya: Dan sungguh benar ucapan Imam Imam Nawawi ra itu, maka mengenai pendapat ulama-ulama Syafi’iyyah bahwa wajib salam tiap dua rakaat di mana apabila shalat empat rakaat dengan satu salam, maka tidak sah, sebagaimana terdapat dalam Kitab al-Fiqh ’alaa al-Madzaahib al-Arba‘ah dan Syarh al-Qasthallaniy terhadap Shahih al-Bukhari dan lainnya, hal itu menyalahi hadits (‘Aisyah) yang shahih itu serta menafikan terhadap ucapan (pendapat) Imam Nawawi yang mengatakan hukum boleh (jawaz) itu. Padahal Imam Nawawi salah seorang ulama besar ahli tahqiq dalam madzhab Syafii. Hal itu tidak bisa ditolerir (dibenarkan) bagi siapa pun juga yang berfatwa menyalahi ucapan beliau itu [Shalat al-Taraqiih, h. 17-18].
Namun setelah kami rujuk dalam kitab majmu, kami tidak menemukan pendapat seperti ini kecuali terkait shalat tatawu. Imam Nawawi mengatakan:
dibolehkan oleh imam Nawawi dari madzhab Syafi’i. Dalam kitab majmu jilid 5/62 yang diterbitkan darul hadis Mesir dikatakan sebagai berikut:ص
صلاة الليل مثني مثنى فاذا رأيت ان الصبح تدركك فاوتر بواحدة وإن جمع ركعات بتسليمة جاز لما روت عائشة رضي الله عنها ان رسول الله صلة الله عليه وسلم كان يصلى من الليل ثلاث عشرة ركعة ويوتر من ذلك بخمس يجلس فى الآخرة ويسلم وانه أوتار بسبع وبخمس لا يفصل بينهن بسلام ولا كلام
Shalat malam itu dua dua. Jika kamu melihat bahwa subuh sudah dekat maka anda shalat witir satu rekaat. Jika sekian rekaat digabung dengan satu salam saja maka itu boleh sebagaimana diriwayatkan oleh aisyah Ra bahwa Rasulullah saw shalat malam 13 rekaat dan ditambah shalat witir kadang 5 rekaat sekali duduk dan salam, kadang witir 7 rekaat, kadang 5 rekaat yang antara rekaat tsb tidak diselingi dengan salam atau pembicaraan.
Jika kita lihat hadis yang dijadikan hujah imam Nawawi terkait penggabungan jumlah rekaat sekali salam, ternyata merupakan hadis yang dijadikan hujah bagi ulama terkait dengan shalat tarawih.
Menurut madzhab lain seperti Hambali, Maliki dan Hanafi, formasi 4 rekaat sekali salam, hukumnya boleh dan shalatnya tetap sah, meski hal itu makruh dilakukan.
Dalam kitab bada’iushani yang bermadzhab Hanafi dikatakan sebagai berikut:
تجديد التحريمة لكل ركعتين ليس بشرط عندنا، هذا إذا قعد على رأس الركعتين قدر التشهد، فأما إذا لم يقعد فسدت صلاته عند محمد، وعند أبي حنيفة وأبي يوسف يجوز”. “بدائع الصنائع” (3 / 151).
Melebihi dua rekaat (sekali salam) bukan jadi syarat bagi kami. Ini jika setiap dua rekaat, duduk istirahat seukuran baca tasyahud. Jika tidak ada duduk (seukuran tasyahud), maka menurut Muhammad, shalat tarawihnya rusak. Namun menurut abu Hanifah dan Yusuf, tidak ada masalah. (Badai ash Shani jilid 3 hal 151)
Dalam kitab maraqi Al Fallah
ولكنها تجوز عن ركعتين فقط، ولا يكتب له أجر الأربع. انظر: “تحقيق مراقي الفلاح” (2/ 63).
Namun (jika 4 rekaat sekali salam), yang dapat pahala yang dua rekaat saja dan tidak ditulis pahala 4 rekaat.
Al adawi yang bermadzhab maliki berpendapat sebagaimana berikut ini:
: “يُسَلِّم من كل ركعتين، أي يندب، ويُكره تأخير السلام بعد كل أربع”.”حاشية العدوي” (3 / 442).
Tiap dua rekaat seki salam. Artinya disunahkan. Jika 4 rekaat sekali salam itu makruh.
Al Bajuri dariadzhab Hambali berpendapatan sebagai berikut:
“أو زاد على اثنتين ليلاً، ولو جاوز ثمانياً، علم العدد أو نسيه، بسلام واحد، كُرِه، وصح”. “كشاف القناع” (3/ 308).
Jika lebih dari dua rekaat untuk shalat malam meski itu sampai melebihi 8 rekaat dan hanya sekali salam saja, hukumnya makruh.
Adapun formasi 4+4+3 yang menjadi salah satu formasil alternatif yang dikuatkan dan dijadikan pegangan oleh Muhammadiyah berpatokan pada hadits Nabi saw riwayat Muslim dari Aisyah r.a.
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّى مِنَ اللَّيْلِ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً يُوتِرُ مِنْ ذَلِكَ بِخَمْسٍ لاَ يَجْلِسُ فِى شَىْءٍ إِلاَّ فِى آخِرِهَا
Artinya: Dari Aisyah (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Pernah Rasulullah saw shalat malam tiga belas rakaat, beliau berwitir dengan lima rakaat dan beliau sama sekali tidak duduk (di antara rakaat-rakaat itu) kecuali pada rakaat terakhir [HR Muslim].
Juga hadits Nabi saw riwayat al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah r.a.
عَنْ أَبِى سَلَمَةَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَنَّهُ سَأَلَ عَائِشَةَ رَضِىَ اللهُ عَنْهاَ كَيْفَ كَانَتْ صَلاَةُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى رَمَضَانَ فَقَالَتْ مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
Artinya: Dari Abu Salamah Ibn ‘Abd ar-Rahman (diriwayatkan) bahwa ia bertanya kepada Aisyah mengenai bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan. Aisyah menjawab: Nabi saw tidak pernah melakukan shalat sunat di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari sebelas rakaat. Beliau shalat empat rakaat dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat lagi empat rakaat, dan jangan engkau tanya bagaimana indah dan panjangnya. Kemudian beliau shalat tiga rakaat [HR al-Bukhari dan Muslim].
Hadits no. 1 menunjukkan bahwa Nabi saw pernah melakukan shalat malam dengan kaifiat dua rakaat lima kali salam dan witir satu rakaat. Hadits no. 2 menunjukkan bahwa Nabi saw shalat delapan rakaat, tetapi tidak diterangkan berapa kali salam. Adapun hadits no. 3 menunjukkan bahwa Nabi saw shalat malam di bulan Ramadhan delapan rakaat dengan dua kali salam, artinya tiap empat rakaat sekali salam, kemudian dilanjutkan shalat witir tiga rakaat dan salam.
Dari mana kita memperoleh pengertian sesudah shalat empat rakaat lalu salam? Pertanyaan tersebut dapat dijawab sebagai berikut:Pertama, dari perkataan كَيْفَ (bagaimana) pada hadits ketiga yang menunjukkan bahwa yang ditanya tentang kaifiat shalat qiyam Ramadhan di samping juga menerangkan jumlah rakaatnya. Kedua, kaifiat itu diperoleh dari lafal يُصَلِّي أَرْبَعًا . Lafal itu mengandung makna bersambung (الوصل) secara zahir (ظاهر), yakni menyambung empat rakaat dengan sekali salam, dan bisa mengandung makna bercerai (الفصل), yakni menceraikan atau memisahkan dua rakaat salam kemudian dua rakaat salam. Namun makna bersambung itu yang lebih nyata dan makna bercerai jauh dari yang dimaksud (بَعِيْدٌ مِنَ اْلمُرَادِ). Demikian ditegaskan oleh Imam as-Shan’aaniy dalam kitab Subulus-Salaam (Juz 2: 13).
Hadits Aisyah ini menerangkan dalam satu kaifiat shalat malam Nabi saw, di samping kaifiat yang lainnya. Hadits Aisyah ini harus diamalkan secara utuh baik rakaat dan kaifiatnya. Hadits Aisyah ini tidak ditakhsis oleh hadits صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى (shalat malam harus dua rakaat dua rakaat), dan hadits tersebut tidak mengandung pengertian “hashr” seperti dikatakan oleh Muhammad bin Nashar. Imam Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan bahwa shalat malam dengan empat rakaat boleh sekali salam (تسليمة واحدة) dengan ungkapan beliau وهذا ليبان الجواز (salam sesudah empat rakaat menerangkan hukum boleh (jawaz)).
Sebagaimana diketahui hadits Aisyah itu yang diriwayatkan al-Bukhari dan Muslim sangat kuat (rajih) dibanding dengan hadits-hadits lainnya tentang qiyam Ramadhan. Sehubungan hal itu Ibn Qayyim al-Jauziyyah menulis di dalam kitab Zādul-Ma‘ād,
وَإِذَا اخْتَلَفَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَعَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا فَي شَيْئٍ مِنْ أَمْرِ قِيَامِهِ بِاللَّيْلِ فَاْلقَوْلُ مَا قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا حَفِظَتْ مَا لَمْ يَحْفَظِ ابْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَهُوَ اْلأَظْهَرُ لِمُلاَزَمَتِهَا لَهُ وَلِمُرَاعَاتِهَا ذَلِكَ وَلِكَوْنِهَا أَعْلَمُ اْلخَلْقِ بِقِيَامِهِ بِاللَّيْلِ، وَابْنُ عَبَّاسٍ إِنَّمَا شَاهَدَهُ لَيْلَةَ اْلمَبِيتِ عِنْدَ خَالَتِهَا [مَيْمُونَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا
Artinya: Dan apabila lbn ‘‘Abbās berbeda pendapat dengan Aisyah mengenai sesuatu hal menyangkut shalat malam Nabi saw, maka riwayat yang dipegang adalah riwayat Aisyah r.a. Beliau lebih tahu apa yang tidak diketahui Ibn ‘Abbās, itulah yang jelas, karena Aisyah selalu mengikuti dan memperhatikan hal itu. Aisyah orang yang lebih mengerti tentang shalat malam Nabi saw, sedangkan Ibn ‘Abbās hanya menyaksikannya ketika bermalam di rumah bibinya (Maimunnah r.a.) [Zadul Ma’ad, 1: 244].
Diinformasikan oleh Imam asy-Syaukaaniy bahwa kebanyakan ulama mengatakan bahwa shalat tarawih dua rakaat satu salam hanya sekedar menunjukkan segi afdlal (utama) saja, bukan memberi faedah hashr (wajib), karena ada riwayat yang shahih dari Nabi saw bahwa beliau melakukan shalat malam empat rakaat dengan satu salam. Hadits صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى hanya untuk memberi pengertian petunjuk (irsyaad) kepada sesuatu yang meringankan saja, artinya shalat dua rakaat dengan satu salam lebih ringan ketimbang empat rakaat sekali salam.
Lebih jauh disebutkan dalam kitab Nailul Authaar, memang ada perbedaan pendapat antara ulama Salaf mengenai mana yang lebih utama (afdlal) antara menceraikan (الفصل = memisahkan 4 rakaat menjadi 2 rakaat satu salam, 2 rakaat satu salam) dan bersambung (الوصل = empat rakaat dengan satu salam). Sedangkan Imam Muhammad Ibn Nashr menyatakan sama saja afdlalnya antara menceraikan (الفصل) dan menyambung (الوصل), mengingat ada hadits shahih bahwa Nabi saw berwitir lima rakaat, beliau tidak duduk kecuali pada rakaat yang kelima, serta hadits-hadits lainnya yang menunjukkan kepada bersambung (الوصل) [Nailul-Authaar: 2: 38-39].
Umumnya para ulama memang memakruhkan formasi 4+4 ini dengan alasan hadi berikit:
صلاة الليل مثني مثني artinya: shalat malam itu dua rekaat dua rekaat.
Hanya yang dijadikan pegangan Muhammadiyah adalah bahwa dua formasi, baik 2+2+2+2+3, atau 4+4+3, merupakan dua formasi yang dapat digunakan. Wallahu alam bi showwab. (Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M.)