Matan HPT
اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1) مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2) وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3) وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.
“Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.”
Syarah:
Perbedaan yang terjadi dalam diri umat Islam, bisa terkait dengan persoalan ushul (furu akidah), bisa juga terkait dengan persoalan furu (fikih). Dalam ranah akidah, sesungguhnya bermula dari persoalan politik, namun kemudian tiap kelompok memerlukan justifikasi kebenaran dari nash. Maka tiap kelompok mempunyai landasan nash guna menguatkan pendangan politiknya. Landasan nash tadi, pada akhirnya berkembang menjadi persoalan teologi.
Namun sesungguhnya, pandangan kelompok-kelompok Islam bukan pada persoalan ushul akidah. Karena ushul akidah tidak boleh ada perbedaan. Jika berbeda, berarti salah satu pasti telah keluar dari Islam. Mereka tidak dianggap lagi sebagai kelompok Islam. Ushul akidah seperti terkait dengan kemahaesaan Allah, kemahakuasaan Allah, malaikat, surga, neraka, kiamat, alam kubur, kenabian, kitabullah dan lain sebagainya. Para ulama menyebutnya dengan istilah al-Amar minaddin bidharurah.
Jika terkait furu akidah, mereka tetap muslim. Hanya bisa jadi masuk pada kelompok sesat dan bid’ah. Perbedaan ranah furu akidah seperti terkait dengan makna istiwa, makna tangan dan wajah, turunnya Allah dari langit pada setiap malam, azab kubur, ismatul anbiya, kebangkitan manusia, dan lain sebagainya. Perbedaan seperti ini, sesungguhnya tetap bisa menyatukan umat Islam dan tidak harus membuat umat Islam berpecah belah. Namun ketika perbedaan tadi ditunggangi berbagai macam unsur politis-sosiologis, maka perpecahan dan gesekan di masyarakat menjadi tak terhindarkan. Fatalnya adalah saling mengkafirkan terhadap sesama saudara sesama muslim. Bahkan dalam beberapa kasus, samopai terjadi pengusiran terhadap kelompok tertentu.
Imam Asyari, sebelumnya adalah pengikut Muktazilah. Di umur 40 tahun, saat pemikirannya sampai pada titik kematangan, beliau mundur dari muktazilah dan kembali ke manhaj salaf dengan topangan logika. Pemikiran beliau bahkan dijadikan rujukan oleh sebagian besar penduduk bumi ini. Beliaulah sang Imam madzhab Asyari, madzhab ahli sunnah wal jamaah.
Beliau datang, di saat terjadi pergulatan pemikiran luar biasa. Bukan saja pada level diskusi ilmiah, namun sudah jauh dari itu, saling kafir mengkafirkan bahkan saling bunuh. Para pengikut madzhab kalam sudah sangat fanatik dengan madzhabnya masing-masing.
Imam Ahmad adalah contoh riil, bagaimana beliau disiksa oleh kalangan Muktazilah hanya karena berbeda pemikiran dengan mereka. Di belakang Imam Ahmad, masih banyak ulama yang mengalami nasib serupa. Imam Asyari mencoba untuk berdialog dengan semua madzhab. Beliau lantas meletakkan standar yang jelas terkait batasan iman dan kufur. Selama seseorang masih percaya dengan umurun minaddin bidharurah, atau prinsip dan pokok ajaran Islam berupa rukun iman dan Islam, maka ia tetaplah muslim. Adapun perilaku yang menyimpang, dianggapnya sebagai perbuatan maksiat. Meski demikian, tidak mengeluarkan seseorang dari keislaman. Syiah, khawarij, muktazilah, murji’ah dan berbagai kelompok Islam lainnya, merupakan orang muslim.
Beliau lantas menulis kitab Maqalatul Islamiyin yang mengupas mengenai aliran pemikiran, prinsip dan pokok ideologi keislaman tiap kelompok Islam. Beliau menyampaikan apa adanya secara obyektif dan ilmiah. Beliau menulis bukan untuk mengkafirkan, tapi mencari titik temu dan menghindari mengkafiran. Di akhir buku, beliau menuliskan:
اشهدوا اني لا اكفر احدا من اهل القبلة
Saksikanlah oleh kalian bahwa saya tidak mengkafirkan siapapun dari para ahli kiblat.
Imam Ghazali, adalah salah satu dari ulama pengikut madzhab Asyari yang sangat ternama. Beliau banyak menulis kitab kalam Asyari, baik berupa konsep madzhab kalam atau counter pada para filsuf maupun ulama kalam yang berbeda aliran dengan beliau. Tulisannya sangat tajam dan berani. Beliau punya jiwa independen dan banyak melakukan ijtihad dalam berbagai cabang ilmu.
Di masanya, perselisihan antar kelompok Islam juga luar biasa. Perpecahan muncul karena perbedaan pemikiran dan fanatik buta umat Islam atas kelompoknya masing-masing. Umat sangat mudah mengkafirkan kelompok lain yang berbeda haluan.
Imam Ghazali sangat prihatin dengan kondisi seperti ini. Sebagai pengikut Asyari, beliau mengikuti jejak sang imam, bahwa selama seseorang masih dalam bingkai Islam, maka tidak layak untuk dikafirkan. Bagi beliau, kafir mengkafirkan hanya akan menambah konflik bagi umat Islam dan melemahkan umat Islam. Beliau memberikan kritikan kepada ghulat Hanabilah yaitu pengikut madzhab Hambali yang ekstrim dan sangat fanatik terhadap pendapat para imamnya. Pun demikan, beliau memberikan kritikan tajam kepada pengikut madzhab Asyari yang fanatik buta kepada madzhabnya, sehingga seakan-akan mereka yang berada di luar madzhab Asyari adalah sesat dan kafir. Beliau adalah Imam yang mendambakan perdamaian. Keprihatinan beliau dapat kita baca dengan jelas dalam kitabnya, Faishalu at-Tafriqah Bainal Islam wa az-Zindiaah. Kitab ini, meski ditulis ratusan tahun lalu, namun masih sangat update. Membaca buku ini, seakan Imam Ghazali hadir di zaman kita saat ini.
Imam Razi, juga ulama madzhab Asyari yang luar biasa. Beliau pembela persatuan umat dan tidak mudah mengkafirkan kelompok lain. Namun demikian, tidak membuatnya untuk tidak bersifat kritis kepada yang lain. Beliau tetap independen dalam memberikan pemikiran keislaman. Beliau tidak segan untuk meluruskan pendapat lawan yang dianggapnya menyimpang.
Beliau menulis buku Asasu Attaqdis, yang merupakan counter atas pemikiran kelompok Karamiyah dan Hasyawiyah Hanabilah. Dalam buku ini, dijabarkan mengenai kelemahan pendapat mereka. Meski sangat tajam, sekali lagi tidak sampai mengkafirkan kelompok lain yang berbeda haluan.
Sayangnya, buku ini mengantarkan beliau kepada kematian. Karena beliau sangat keras dalam memberikan kritikan kepada kelompok Karamiyyah, akhirnya beliau diracun dan meninggal dunia. Sebelum meninggalpun beliau berwasiat agar jasadnya dikubur di tempat yang tidak diketahui orang banyak. Menurutnya, kebanyakan rakyat adalah awam. Mereka yang dari kelompok berbeda, khususnya Karamiyah bisa saja melakukan hal yang tidak diinginkan dengan membongkar dan mencincang tubuh beliau yang sudah menjadi mayat.
Itulah gambaran perseteruan di masa lalu. Perseteruan yang berdampak pada sikap saling mengkafirkan. Perseteruan yang juga berimplikasi pada pertumpahan darah. Kini, perseteruan hadir lagi di tengah-tengah kita. Muncul kelompok-kelompok Islam yang sangat mudah membid’ahkan, menyesatkan dan mengkafirkan kelompok lain. Mereka sangat keras, bahkan sebagian sampai melakukan pembunuhan masal seperti yang dilakukan ISIS di Suriah dan Irak. Mereka mengaku paling benar, sementara kelompok lain salah dan kafir. Untuk itu, kelompok tersebut harus tunduk dengan kepemimpinan mereka. Jika tidak, maka layak mereka dibunuh.
Sikap seperti ini hanya menimbulkan krisis berkepanjangan dan mengakibatkan perang saudara. Masyarakat yang sebelumnya hidup tentang dan damai, menjadi saling curiga dan saling bunuh. Negeri Suriah yang sebelumnya dianggap sebagai Parisnya Timur Tengah karena ketertiban dan keindahan kota dan alamnya, berubah menjadi puing-puing yang mengenaskan. Demikian juga yang terjadi di Libia, Irak, Afganistan dan belahan bumi Islam lainnya.
Negara-negara yang sedang dalam krisis politik seperti di kawasan Timur Tengah, sesungguhnya antara satu sama lain mempunyai banyak kesamaan. Mereka mempunyai satu bahasa, yaitu bahasa Arab. Agama mayoritas juga sama, yaitu Islam, kitabnya sama, yaitu al-Quran dan shalatnya sama sama menghadap kiblat. Namun kesatuan tersebut tidak bisa menyatukan mereka. Padahal pesan al-Quran sangat jelas:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا ۚ وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَىٰ شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
Dan berpegang teguhlahlah kamu semuanya pada tali (agama) Allâh, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah nikmat Allâh kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuhan, lalu Allâh mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara, sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allâh menyelamatkan kamu dari sana. Demikianlah, Allâh menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat petunjuk.” [Ali ‘Imrân/3:103]
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ ۚ وَأُولَٰئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai-berai dan berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah orang-orang yang mendapat adzab yang berat.” [Ali ‘Imrân/3:105]
Perpecahan hanya akan menghinakan umat Islam di hadapan negara-negara besar. Umat akan menjadi permainan dan makanan empuk kaum kafir, Yahudi dan Nasrani. Umat menjadi seperti buih dalam lautan. Banyak, namun menjadi permainan Negara lain.
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاس
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka (berpegang) pada tali (agama) Allâh dan tali (perjanjian) dengan manusia [Ali ‘Imrân/3:112]
لَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوشِكُ الْأُمَمُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمْ كَمَا تَدَاعَى الْأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا فَقَالَ قَائِلٌ وَمِنْ قِلَّةٍ نَحْنُ يَوْمَئِذٍ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ يَوْمَئِذٍ كَثِيرٌ وَلَكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ وَلَيَنْزَعَنَّ اللَّهُ مِنْ صُدُورِ عَدُوِّكُمْ الْمَهَابَةَ مِنْكُمْ وَلَيَقْذِفَنَّ اللَّهُ فِي قُلُوبِكُمْ الْوَهْنَ فَقَالَ قَائِلٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا الْوَهْنُ قَالَ حُبُّ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَةُ الْمَوْتِ
Rasulullah saw bersabda: “Hampir tiba masanya kalian diperebutkan seperti sekumpulan pemangsa yang memperebutkan makanannya.” Maka seseorang bertanya: ”Apakah karena sedikitnya jumlah kita?” ”Bahkan kalian banyak, namun kalian seperti buih mengapung. Dan Allah telah mencabut rasa gentar dari dada musuh kalian terhadap kalian. Dan Allah telah menanamkan dalam hati kalian penyakit Al-Wahan.” Seseorang bertanya: ”Ya Rasulullah, apakah Al-Wahan itu?” Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: ”Cinta dunia dan takut akan kematian.” (HR Abu Dawud 3745)
Di tanah air, muncul pula kelompok-kelompok yang sangat fanatik. Sebut misalnya terkait dengan pengeboman di Bali atau pengeboman gereja. Sungguh hal yang tidak pernah diajarkan oleh Islam. Padahal Rasulullah saw berwasiat kepada umatnya agar melindungi mereka; melindungi kafir dzimmi. Umat Islam diperintahkan untuk tetap berdampingan dengan orang kafir yang hidup damai di tengah-tengah umat Islam. Jelas sikap sebagian kalangan Islam yang keras dan sampai membunuh, salah dan sesat. Mereka tidak mengikuti perintah Rasul saw. Pemikiran mereka ini harus diluruskan dari sikap ekstrim dalam memandang kelompok lain.
Suatu kali, muncul tekanan dari berbagai pihak agar Imam al-Azhar Syaikh Ahmad Tayib mengkafirkan ISIS. Syaikh Azhar diminta mengeluarkan fatwa bahwa ISIS telah keluar dari Islam. Namun syaikh Azhar menolak. Syaih al-Azhar tetap dalam pendiriannya sebagai pengikut madzhab sunni Asyari, bahwa seseorang yang masih mengimani rukun iman dan rukun Islam, maka ia tetap muslim. Mereka tetap dianggap sebagai ahli kiblat. Hanya mereka sesat.
Madzhab Asyari dalam sejarah Islam, merupakan madzhab yang cukup moderat. Para imam dari kalangan madzhab Asyari melarang untuk mengkafirkan ahlil kiblat, apalagi sampai membunuh mereka. Anehnya, di tanah air banyak yang megaku pengikut madzhab Asyari, namun tidak mengikuti para imam besar pembawa warisan sang Imam. Mereka mengaku ahli sunnah wal jama’ah, namun perilakunya tidak mencerminkan sebagai pengikut Asyari. Mereka taklid buta dan sangat fanatik. Mereka selalu mengatakan sebagai orang yang toleran dan cintai damai, namun dari sisi praktik, melakukan pengusiran ulama, intimidasi, penolakan atau bahkan pembubaran pengajian. Di Aceh, ada masjid Muhammadiyah yang dibakar. Sungguh naïf. Sikap yang sama sekali tidak pernah diajarkan oleh para imam pengikut madhzab Asyari.
Imam Asyari, Baqilani, Imam Haramain, Imam Ghazali, Ar-Razi, Imam Syahrstani, Imam Iji, Imam Baidhawi, dan seterusnya, adalah ulama yang sangat terbuka dengan perbedaan. Tidak ada sejarah bahwa mereka menolak pendapat lain dengan kekerasan. Tidak ada tertulis di buku-buku mereka untuk meminta pengikutnya menutup diri dan menolak dengan kekerasan atau melakukan pengusiran pengajian. Madzhab Asyari, mestinya tidak radikal.
Maka kembalikanlah madzhab Asyari kepada rel yang sesungguhnya, tidak fanatik dan taklid buta namun tetap bersikap moderat. Tidak mudah berburuk sangka dan merasa paling NKRI. Mencobalah untuk memahami yang lain. Dahulukan sikap dialog. Dengan ini, persatuan yang didambakan oleh Imam al-Ghazali, insyaallah dapat terlaksana.
Wallahu a’lam.
Bagi yang hendak wakaf tunai untuk pembangunan Pondok Modern Almuflihun yang diasuh oleh Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M, silahkan salurkan dananya ke: Bank BNI Cabang Magelang dengan no rekening: 0425335810 atas nama: Yayasan Al Muflihun Temanggung. SMS konfirmasi transfer: +20112000489