Matan HPT
اَمَّا بَعْدُ فَاِنَّ الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (1 (مِنَ السَّلَفِ اَجْمَعُوا عَلَى الإِعْتِقَادِ بِأَنَّ العَالَمَ آُلَّهُ حَادِثٌ خَلَقَهُ االلهُ مِنَ العَدَمِ وَهُوَ اَىِ العَالَمُ) قَابِلٌ لِلفَنَاءِ (2 (وَعَلَى اّنَّ النَّظْرَ فِى الكَوْنِ لِمَعْرِفَةِ االلهِ وَاجِبٌ شَرْعًا (3 (وَهَا نَحْنُ نَشْرَعُ فِى بَيَانِ اُصُولِ العَقَائِدِ الصَّحِيْحَةِ.
Kemudian dari pada itu, maka kalangan ummat yang terdahulu, yakni mereka yang terjamin keselamatannya (1), mereka telah sependapat atas keyakinan bahwa seluruh ‘alam seluruhnya mengalami masa permulaan, dijadikan oleh Allah dari ketidak-adaan dan mempunyai sifat akan punah (2). Mereka berpendapat bahwa memperdalam pengetahuan tentang ‘alam untuk mendapat pengertian tentang Allah, adalah wajib menurut ajaran Agama (3). Dan demikianlah maka kita hendak mulai menerangkan pokok-pokok kepercayaan yang benar.
Kata Kunci: الفِرْقَةَ النَّاجِيَةَ (Kelompok yang selamat)
Syarah:
Muktazilah adalah kelompok dan friksi Islam yang muncul pada awal abad II H. Kelompok ini muncul dari seorang yang bernama Washil bn Athâ’ (700-748 M). Para sarjana muslim berbeda pendapat seputar asal mula dinamakan sebagai Muktazilah. Pertama: kata Muktazilah dinisbatkan kepada pengikut Washil bin Atha’ karena ia telah memisahkan diri dari gurunya Hasan al-Basri. Pemisahan itu, dalam bahasa Arab disebut dengan istilah i’tizâl. Orang yang memisahkan diri dan mengikuti Washil bin Atha namanya Muktazilah. Pemisahan Washil bin Atha disebabkan karena perbedaan dia dengan gurunya, mengenai hukum pelaku dosa besar.
Menurut Syahrstaniy bahwa awal dinamakan sebagai Muktazilah adalah karena seorang santri di majelisnya Hasan Bashriy yang bertanya: “Wahai imamuddin. Pada zaman kita bermunculan berbagai golongan yang mengafirkan pelaku dosa besar, karena bagi mereka dosa besar adalah kafir dan telah keluar dari millah. Mereka adalah aliran Khawarij. Juga terdapat golongan yang mengabaikan terhadap pelaku dosa besar. Golongan ini menganggap bahwa dosa besar tidak memiliki implikasi negatif terhadap iman seseorang. Amal perbuatan, dalam golongan ini bukan bagian dari iman. Maka perbuatan maksiat tidak akan mengganggu eksistensi iman seseorang, sebagaimana taat juga tidak akan berpengaruh terhadap eksistensi kekafiran seseorang. Mereka itu adalah murjiatul ‘ummah. Lalu menurut pendapat guru, bagaimana kita menghukumi pelaku dosa besar?” Hasan Bashri terdiam. Sebelum ia memberikan jawaban, Washil bin Atha’ berkata: “Saya tidak mengatakan bahwa pelaku dosa besar mukmin secara mutlak, namun ia berada diantara dua tempat (manzilatun baina manzilataini). Mereka tidak mukmin dan juga tidak kafir”. Kemudian ia berdiri dan memisahkan diri ke serambi masjid serta tetap berpegang terhadap pendapatnya. Hasan Bashri berkata: “Washil telah memisahkan diri”. Ia beserta orang yang mengikutinya selanjutnya disebut dengan Muktazilah.
Ada juga yang mengatakan bahwa pendiri Muktazilah bukan Washil bin Atha’, namun Amru bin Ubaid. Hal ini sebagaimana yang diungkapan al-Muqriziy, bahwa Amru bin Ubaid dan sahabat-sahabatnya telah memisahkan diri dari halaqahnya Hasan Bashri. Dari situ maka merka disebut dengan Muktazilah.
Kedua, kata Muktazilah biasa dipakai untuk mengidentifikasi seseorang yang bersifat zuhud. Dengan kata lain bahwa lafazh i’tizâl merupakan bagian dari sifat zuhud tadi. Konon para pendahulu Muktazilah terkenal sangat zuhud dan selalu konsisten dalam beribadah. Mereka juga sering mengasingkan diri dari dunia ramai. Kehidupan mereka sangat sederhana. Diriwayatkan bahwa Washil bin Atha’ ketika malam tiba, ia mempersiapkan diri untuk shalat malam, sementara pena dan kertas berada disampingnya. Jika ia membaca ayat yang di dalamnya mengandung argumentasi yang sesuai dengan pahamnya, usai shalat ia duduk dan menulisnya. Setelah itu ia kembali melanjutkan shalat. Diriwayatkan juga bahwa Amru bin Ubaid sering melaksanakan shalat subuh dengan wudhu maghrib. Bahkan ia sering melakukan ibadah haji dengan jalan kaki.
Ketiga, Muktazilah adalah kelompok dan firksi yang tumbuh murni dari bias politik. Washil bin Atha’ dan Amru bin Ubaid merupakan kepanjangan tangan terhadap kelompok yang muncul pasca tahkîm. Benih dari kelompok ini sudah ada sejak awal perang Shiffin, bahkan sudah mulai muncul awal perang Jamal antara Aisyah dengan Ali. Muktazilah pada waktu itu adalah golongan netral yang tidak ikut campur dalam perseteruan antara Ali dan Aisyah, atau Ali dan Muawiyah. Dengan kata lain, mereka sama sekali tidak memberikan dukungan politik terhadap kelompok-kelompik yang sedang bertikai.
Dari sekian pendapat seputar munculnya partai Muktazilah, yang dianggap paling kuat adalah pendapat pertama. Hal ini karena sumber-sumber sejarah kelompok Islam, umumnya menisbatkan muktazilah kepada Washil bin Atah dari peristiwa pertanyaan Washil kepada gurunya. Lalu Washil bin Atha memisahkan diri.
Prinsip Dasar Muktazilah
Muktazilah dalam menentukan berbagai ketetapan hukum serta menguatkan berbagai macam argumentasinya selalu berpijak pada akal. Dengan argumentasi logis, mereka mampu berdebat untuk melawan kebatilan yang dilontarkan pemeluk agama dan kepercayaan lain di luar Islam dan mereka menyerang ajaran Islam. Mereka banyak berjasa dalam mengemban dakwah Islam dan membela eksistensi agama Islam.
Namun yang patut disayangkan adalah sikap radikal Muktazilah dalam menyebarkan wacana ideologi mereka. Ketika mereka menjadi kelompok penguasa, mereka memaksakan ideologi mereka kepada kelompok lain yang tidak sepaham. Peristiwa itu terjadi pada masa khalifah al-Makmun.
Muktazilah sering disebut sebagai golongan ahlul ‘adli wa al-tauhîd. Mereka memiliki lima konsep yang dijadikan pijakan dalam berpikir. Artinya bahwa mereka yang tidak meyakini lima konsep tersebut, maka ia tidak disebut sebagai golongan Muktazilah. Jika dipertanyakan, mengapa landasan teoritis Muktazilah hanya dibatasi pada lima hal saja? Qadhiy Abdul Jabar, salah seorang ulama besar Muktazilah menerangkan sebagai berikut:
“Tidak dapat dipungkiri bahwa mereka yang berbeda pendapat dengan kami tidak akan lepas dari lima landasan tersebut. Tahukah Anda, bahwa perbedaan kami dengan golongan atheis, dahriyah dan musyabbahah masuk dalam persoalan tauhid? Kami juga berbeda dengan Jabbariyah, artinya persoalan tersebut masuk dalam bagian keadilan Tuhan. Perbedaan kami dengan Murji’ah dapat dimasukkan dalam bagian janji dan ancaman. Kami juga berbeda dengan Khawârij, yang berarti dapat dimasukkan dalam bagian “manzilah baina manzilataini”. Sebagaimana kami berbeda dengan Imamiyah yang dapat dimasukkan dalam bagian amar ma’ruf dan nahi munkar.”
Ulama pertama yang dianggap sebagai pencetus lima prinsip pokok Muktazilah adalah Abu Huzail al-Allaf. Ia adalah golongan pertama ulama Muktazilah yang menulis dan menerangkan secara rinci mengenai landasan pemikiran partai Muktazilah. Landasan teoritis tersebut sering disebut dengan ushûlul khamsah (dasar-dasar yang lima). Lima landasan itu adalah sebagai berikut:
1. Keadilan
Prinsip keadilan berkaitan erat dengan kajian Muktazilah mengenai kebebasan berkehendak dan kebebasan memilih bagi manusia. Keadilan juga berkaitan erat dengan persoalan ketuhanan. Prinsip keadilan Tuhan inilah yang menjadi sentral perseteruan antara kelompok Muktazilah dengan Jabbariyah.
Yang dimaksudkan dengan keadilan adalah keyakinan Muktazilah bahwa manusia memiliki kebebasan berkehendak, memilih dan menentukan amal perbuatannya masing-masing. Segala perbuatan manusia dinisbatkan langsung kepada manusia sebagai nisbat sesungguhnya, bukan metafor. Oleh karena manusia mempunyai kewenangan berkehendak, maka ia akan mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya. Jika ia shalih, maka ia masuk surga, namun jika ia pelaku maksiat, maka ia akan masuk neraka. Pahala dan siksa merupakan bentuk dari keadilan Tuhan bagi umat manusia. Muktazilah secara jelas menentang bahwa setiap perbuatan, baik itu perbuatan baik atau buruk dikembalikan secara langsung kepada Allah.
2. Tauhid
Permasalahan Tauhid berkaitan erat dengan perdebatan mereka dengan aliran atheis, dahriyah, Yahudi, Kristen dan juga golongan dari kelompok Islam yang berpendapat tentang tasybîh (menyerupakan Tuhan dengan sesuatu), tajsîm (membendakan Tuhan) dan mereka yang percaya dengan hulûl (Tuhan menyatu dengan manusia).
Kajian terkait tauhid, mencakup beberapa sub pembahasan sebagai berikut:
• Abstraksi mengenai pensucian dzat Tuhan.
• Dzat dan sifat Tuhan adalah satu.
• Tidak mungkin manusia dapat melihat Tuhan (ru’yatullah).
• Tidak mungkin Tuhan berada dalam tempat tertentu.
• Al-Qur’an adalah makhluk.
3. Janji dan ancaman Tuhan
Poin tersebut merupakan landasan ketiga bagi Muktazilah. Janji dan ancaman merupakan sentral perbedaan antara partai Muktazilah dengan Murji’ah. Maksud janji dan ancaman adalah bahwa Allah telah berjanji dalam al-Quran, bagi orang mukmin yang telah melakukan amal shalih, maka ia akan masuk surga. Sementara itu bagi orang kafir, mereka akan masuk neraka. Allah tidak akan inkar janji sehingga apa yang ada dalam al-Quran adalah benar adanya.
Oleh karena itu, orang masuk surga karena amal perbuatannya, bukan karena rahmat Allah. Baik buruk, sangat menentukan nasib manusia di akhirat. Muktazilah beranggapan bahwa Allah wajib memasukkan orang mukmin ke dalam surga, dan wajib memasukkan orang kafir ke dalam neraka. Kata wajib ini, mengacu kepada janji Allah tersebut.
Tentu ini berbeda dengan ahli sunnah yang mengatakan bahwa amanusia masuk surga karena rahmat Allah. Ahli sunnah juga tidak mengatakan bahwa orang mukmin wajib masuk surga. Allah mempunyai kehendak mutlak yang tidak dapat didikte oleh makhluk-Nya.
Dari sini jelas, bahwa Tuhan telah menjanjikan pahala kepada orang yang melaksanakan segala perintah-Nya sesuai dengan amal perbuatannya. Tuhan juga menjanjikan untuk memberikan anugerah kepada siapa saja yang ia kehendaki.
Sebaliknya, Tuhan telah mengancam kepada siapa saja yang melanggar perintah-Nya dengan memasukkannya ke dalam api neraka, termasuk bagi mereka yang melakukan dosa besar. Bahkan Tuhan mengancam bahwa pelaku dosa besar akan menjadi penghuni nerakan dan kekal di dalamnya selama ia tidak bertaubat. Sebagaimana janji Tuhan, ancaman Tuhan juga pasti terjadi, karena Tuhan tidak akan pernah mengingkari ancaman-Nya. Ancaman adalah informasi kepada orang yang diancam bahwa jika ia melakukan sesuatu akan mendapatkan bencana.
Ancaman Tuhan tersebut pasti akan terlaksana bagi siapa saja yang melanggar perintah-Nya, baik mereka yang fasik karena telah melakukan dosa besar ataupun ancaman kepada orang-orang kafir. Tuhan tidak akan pernah diskriminasi dalam menerapkan ancaman-Nya tersebut dengan membedakan antara orang kafir dengan orang fasik.
Pendapat tersebut berimplikasi pada pandangan mereka yang menolak syafaat bagi pelaku dosa besar, baik syafaat itu dari Rasul, terlebih-lebih dari selain Rasul. Mereka menganggap bahwa syafaat hanya layak diberikan kepada orang-orang mukmin saja dan bukan kepada orang-orang fasik. Janji dan ancaman Tuhan sangat erat kaitannya dengan konsep Muktazilah tentang keadilan Tuhan. Hal ini dikarenakan janji dan ancaman berhubungan dengan ganjaran yang harus diberikan Tuhan kepada setiap manusia atas perbuatannya di dunia.
Selain itu, konsep tersebut berkaitan erat dengan perkembangan wacana pemikiran dan politik yang sedang berkembang pada saat itu. Janji dan ancaman adalah tanggapan balik kelompok Murji’ah yang menganggap bahwa ganjaran hanya berada dalam otoritas Tuhan. Manusia sama sekali tidak memiliki hak untuk mencampuri urusan Tuhan.
4. Manzilah baina manzilatain
Manzilah baina manzilatain merupakan reaksi terhadap pandangan kelompok Murji’ah dan Khawarij. Manzilah baina manzilatain adalah pandangan berbeda mengenai ketetapan hukum bagi pelaku dosa besar yang dilontarkan Washil bin Athâ dalam halaqah Hasan Bashriy.
Yang dimaksudkan dengan manzilah baina manzilataini adalah bahwa setiap manusia yang meninggal dunia, sementara ia pernah melakukan dosa besar dan belum bertaubat maka mereka termasuk ahli neraka yang kekal di dalamnya. Ia tidak beriman, namun juga tidak kafir.
Pandangan ini sangat berbeda dengan kelompok Murji’ah yang mengatakan bahwa pelaku dosa besar tetap dianggap sebagai seorang mukmin. Juga berbeda dengan kelompok Khawarij yang menganggap bahwa pelaku dosa besar masuk dalam golongan orang-orang kafir. Ia juga tidak dapat digolongkan dalam kategori orang munafik.
Bagi Muktazilah, pelaku dosa besar tidak mukmin, tidak kafir dan juga tidak munafik. Ia berada pada posisi antara mukmin dan kafir. Posisi tersebut tidak akan dapat mengeluarkan mereka dari ancaman neraka. Hanya saja, bentuk siksaannya lebih rendah dibandingkan dengan siksaan Tuhan yang diberikan kepada orang-orang kafir.
5. Amar ma’ruf dan nahi munkar
Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah landasan teoritis terakhir Muktazilah. Konsep mengenai amar makruf nahi munkar merupakan bahasan sentral yang menjadi pembeda antara kelompok Muktazilah dengan Syiah Imamiyah dan sebagian pengikut kelompok Murji’ah. Lanadan dari konsep amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan perwujudan dari sikap politik Muktazilah. Hukum amar ma’ruf dan nahi munkar bagi Muktazilah adalah wajib. Dari sini mereka membolehkan suatu kelompok untuk mengadakan gerakan revolusi melawan penguasa yang zhalim. Bahkan bagi mereka, gerakan revolusi atau kudeta melawan pemerintah yang zhalim bisa menjadi sebuah kewajiban manakala sarana dan prasarana telah dapat dikuasai. Tujuan revolusi adalah untuk mengganti pemerintah zhalim menjadi pemerintah yang dapat menegakkan keadilan dan kemakmuran.
Wacana politik yang digulirkan kelompok Muktazilah seputar revolusi bersenjata melawan pemerintah yang zhalim, sama dengan konsep Syiah Zaidiah, kelompok Khawarij dan sebagian besar pengikut Murji’ah. Bagi kelompok-kelompok tersebut, revolusi bersenjata melawan pemerintah yang zhalim menjadi suatu keharusan jika memang situasi dan kondisi sudah memungkinkan.
Bagi mereka, keharusan melawan pemerintah yang zhalim tidak hanya dibebankan pada para pemimpin kelompok, namun juga seluruh umat Islam secara. Hal ini karena bentuk dari amar makruf nahi munkar sifatnya umum, bukan ditujukan kepada kelompok tertentu saja atau orang tertentu saja. Selain itu, hukum (taklîf) Allah yang dibebankan kepada umat manusia, juga berlaku umum tanpa terkecuali.
Untuk menjaga stabilitas sosial politik sehingga gerakan revolusi dengan sarana amar ma’ruf dan nahi munkar tidak menjadi gerakan pemberontak dan pengacau, kelompok Muktazilah meletakkan beberapa syarat, di antara adalah sebagai berikut:
• Gerakan revolusi bersenjata dilakukan oleh sekelompok orang. Dengan demikian dapat dibedakan antara gerakan politik yang tersusun secara sistematis dengan gerombolan pemberontak atau pengacau yang bersifat individu.
• Kemungkinan untuk memperoleh kemenangan jauh lebih besar dibandingkan dengan kemungkinan kalah.
• Sebelum mengadakan gerakan revolusi bersenjata, terlebih dahulu telah disiapkan calon pemimpin pengganti yang kiranya dapat menerapkan prinsip-prinsip keadilan dalam masyarakat.
• Keberhasilan dalam revolusi bersenjata tidak berarti bahwa tugas amar ma’ruf dan nahi munkar sudah usai. Pemerintah baru diberi beban untuk memperbaiki kondisi sosial masyarakat sehingga prinsip keadilan dan tauhid dapat ditegakkan.
Inilah lima konsep kelompok Muktazilah yang dijadikan pijakan mereka dalam wacana pemikiran dan pergerakan politik. Amar makruf dan nahi munkar dapat dikaitkan dengan terma keadilan. Selain itu juga dapat masuk ke dalam prinsip kebebasan berkehendak, memilih dan melakukan perbuatan tertentu bagi manusia. Sebagaimana prinsip amar ma’ruf dan nahi munkar dapat dikaitkan dengan manzilah baina manzilatain bagi pelaku dosa besar, janji dan ancaman Tuhan kepada manusia.
Lima konsep kelompok Muktazilah, antara satu konsep dengan yang lain memiliki keterkaitan erat, saling melengkapi dan menguatkan. Maka tidak heran jika Qadhi Abdul Jabbar menganggap bahwa lima konsep tadi merupakan pijakan yang sangat komprehensif bagai kelompok Muktazilah. Mengingat perhatian luar biasa yang ditekankan kelompok Muktazilah terhadap dua poin besar, yaitu landasan keadilan dan tauhid, maka kelompok ini juga sering dijuluki dengan ahlul ‘adl wa al-tauhîd.