Penulis: Indera Gunawan, Lc, M.A. (Kandidat Doktor Universitas Al-Azhar Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Anggota Majelis Tarjih PCIM Kairo)
Baiat pada Ali
Setelah wafatnya Utsman, tampuk kepemimpinan kosong. Para pemberontak meminta Ali menjadi khalifah tapi beliau menolak. Begitu juga dengan sahabat lainnya Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Abdullah bin Umar. Posisi jabatan Madinah kosong, dan yang menguasainya adalah al-Ghafiki bin Harb. Keadaan berlanjut selama lima hari.
Al-Ghafiki ikut shalat bersama warga Madinah, dan meyakini bahwa pemimpin Muslimin adalah hak Muhajirin dan bukan mereka. Pemberontak mengumpulkan warga Madinah dan mengancam mereka untuk memilih khalifah dalam dua hari. Warga Madinah lalu mendesak Ali untuk menerima. Fitnah akan lebih membara jika negara tanpa khalifah, sementara perkara fitnah telah meluas tiap penjuru, begitu pula ancaman dari Romawi Byzantium dan potensi disintegrasi sertaperpecahan sangatlah subur. Khalifah harus segera ada supaya barisan disatukan, hukum ditegakkan, rakyat kecil dibela, dan umat dikembalikan pada keadaan tenang dan damai.
Ali akhirnya menerima, di tengah kondisi carut-marut, dan memikul beban yang amat berat. Warga Madinah membaiatnya dan juga dengan para shahabat besar lainnya. Begitu juga dengan para pemberontak di tiap kota membaiat Ali. Hal itu terjadi pada hari Jum’at. Hari kelima terbunuhnya Utsman, tahun 35 H.
Ijtihad Ali pada perkara pembunuh Utsman
Thalhah dan Zubair telah mendesak Ali untuk menghukum pembunuh Ustman. Namun Ali belum sanggup melaksanakannya. Para pemberontak sedang menguasai Madinah. Jumlah mereka sepuluh ribu lebih, dan menghadapinya bukanlah pekerjaan kecil. Ali lebih melihat untuk menstabilkan posisi khalifah dulu, wibawa khalifah segera dikembalikan agar punya power lagi, baru kemudian menghukum pembunuh Utsman.
Pencopotan gubernur Utsman
Ali segera mencopot gubernur Utsman. Dalam pandangannya, mereka inilah penyebab timbulnya fitnah dan banyaknya keluhan masyarakat. Ali tak mau mendengar nasehat Abdullah bin Abbas, dan Mughirah bin Syu’bah agar menangguhkannya, supaya keadaan lebih tenang dulu, dan para penduduk di kota-kota besar mau tunduk padanya, baru kemudian mengganti gubernur baru. Namun Ali berkeras dan berkata, “Aku takkan menjilat (mengambil muka) pada agamaku.”
Ali segera memilih gubernurnya sendiri. Ia mengirim Utsman bin Hanif ke Bashrah sebagai pengganti Abdullah bin Amir. Dan mengirim saudaranya Sahl bin Hanif ke Syam sebagai ganti Muawiyah bin Abi Sufyan, Qais bin Sa’d bin Ubadah ke Mesir pengganti Abdullah bin Abi Sarh. Mereka bertiga penggantinya adalah kaum Anshar. Kemudian mengutus Imarah bin Syihab ke Kufah pengganti Abu Musa al-Asy’ary, dan Abdullah bin Abbas ke Yaman pengganti Yu’la bin Munabih, kemudian memilih gubernur Makkah Khalid bin al-‘Ash.
Berangkatlah para gubernur Ali ke wilayahnya masing-masing. Utsman bin Hanif berhasil ke Bashrah sebab gubernur Utsman yang lama Abdullah bin Amir telah pergi ke Mekkah dan menetap di sana. Adapun Qais bin Sa’d bin Ubadah ketika masuk ke Mesir medapati rakyatnya terpecah-belah. Sebagian ada yang mendukungnya, sebagian lagi membangkang. Yang membangkang berkumpul di daerah Bukhairah. Kata mereka, “Jika Ali mau meng-qisas pembunuh Utsman, kami akan membaiatnya.” Sebagian lagi ada yang bilang, “Kami bersama Ali jika ia tak meng-qisas saudara kami.” Adapun Abdullah bin Abbas masuk ke Yaman sementara gubernurnya Yu’la bin Munabih telah lebih dulu kabur ke Mekkah.
Gubernur Ali yang gagal ke wilayahnya adalah ‘Imarah bin Syihab, Gubernur Kufah, dan Sahl bin Hanif, Gubernur Syam. Mereka menemui perlawanan dari gubernur lama dan warga setempat, hingga membuat mereka pulang ke Madinah menghadap Ali. Adapun Khalid bin Ash ketika ia pergi ke Mekkah namun di sana terdapat mantan-mantan gubernur Utsman yang menetap dan kalangan keluarga bani Umayah. Sebab itu ia tak mau memerintah Mekkah. Jadilah Mekkah tanpa gubernur sampai datang gubernur baru Qisam bin Abbas.
Antara Ali dan Muawiyah
Muawiyah mendesak Ali menghakimi pembunuh Utsman, menolak diturunkan sampai Ali menuntaskannya. Ali mengirim surat ke Muawiyah bahwa keadaan belum tenang, jadi ia harus membaiat Ali dulu baru menghakimi pembunuh Utsman. Muawiyah menolak, dan tetap berkeras, apalagi Syam berada dengan batas Romawi, dan kalau Syam gunjang-ganjing, maka Daulah Islamaiah terancam. Ia berkirim surat pada Ali, kemudian sang pembawa surat menggambarkan kondisi Syam di bawah Muawiyah. Keduanya, baik Ali dan Muawiyah saling berijtihad, dan kalau salah tetap dapat satu ganjaran. Tiada seorang pun setelah Nabi yang ma’shum.
Perang Jamal tahun 36 H
Ketika Ali sedang sibuk mengurusi Muawiyah, datang kabar bahwa Aisyah, Thalhah, dan Zubair keluar menuju Bashrah. Aisyah sedang berada dalam jalur pulangnya usai ibadah haji dari Mekkah, ketika ia mendengar kabar terbunuhnya Utsman dan penduduk Madinah berkumpul membaiat Ali sebagai khalifah. Ia memutuskan untuk kembali ke Mekkah dan berkata, “Demi Allah, Utsman telah terbunuh dengan zalim. Demi Allah aku akan benar-benar menuntut darahnya.” Dan mungkin Aisyah juga menduga penduduk Madinah dan Ali tidak bersungguh-sungguh menjaga dan membela khalifah hingga terjadilah apa yang telah terjadi.
Sementara Thalhah dan Zubair keluar dari Madinah ke Mekkah untuk melakukan umrah, Ali mengizinkannya. Di tengah jalan keduanya bertemu Aisyah dan lantas bergabung dengan Aisyah. Ali segera merespon dengan menyusul ke Rabazah (pinggiran kota Madinah) untuk mencegah keberangkatan mereka ke Bashrah, hanya sayang rombongan Aisyah terlanjur berangkat.
Aisyah berangkat pertama-tama hanya dengan seribu pasukan yang dikomandani Yu’la bin Munabbih dan Abdullah bin Amir. Setelah itu bertambah menjadi tiga ribu orang lalu berjumlah tiga puluh ribu. Sesampai di Bahsrah, Utsman bin Hanif selaku gubernur Ali terlibat bentrok kecil-kecilan, yang dimenangkan pihak Aisyah.
Ali terpaksa keluar juga menemui mereka. Sebelum perang terbuka, Ali mengutus al-Qa’qa’ bin Amru at-Tamimy untuk mengetahui sebab pembangkangan mereka, dan tahulah Qa’qah mereka ingin menuntut pembunuh Utsman. Qa’qa’ memahamkan mereka bahwa Ali tidak termasuk pembunuh Utsman dan tidak bertanggung jawab atasnya. Bahwa keadaan tidak memungkinkan, dan meminta mereka berbaiat dulu kepada Ali hingga keadaan stabil, baru kemudian menghukum pembunuh Utsman. Pihak Aisyah akhirnya rela dan berkata, “Bawalah Ali pada kami, kami ingin berdamai.” Ali pun berangkat menemui mereka pada subuh hari itu untuk melakukan damai. Ini membuktikan para sahabat semua satu barisan dan mendahului kepentingan maslahat.
Sayangnya, para pemberontak yang menyusup di barisan Ali dan Aisyah telah mengatur rencana keji. Dimotori Abdullah bin Saba’, ia berkata pada pengikutnya agar jangan biarkan Ali berdamai dengan Aisyah. Sebab itu akan mengakhiri entitas mereka dan mempercepat terjadinya qisas. Maka pecahkanlah konsentsrasi dengan membuat huru-hara hingga meletusnya perang. Sementara Ali berkata pada pengikutnya, “Hai orang-orang, tahanlah diri kalian dan lidah kalian dari kaum di hadapanmu. Sesungguhnya mereka adalah saudaramu juga bersabarlah atas yang terjadi padamu, dan janganlah kalian mendahului kami.”
Pada malam itu, orang-orang meyakini akan terjadinya perdamaian. Di lain sisi, para pemberontak tengah membuat makar tersembunyi untuk meletuskan perang. Mereka menyebar tiap penjuru, muka belakang, kiri-kanan, untuk memulai perang secara sembunyi-sembunyi.
Esoknya, Zubair dan Thalhah melihat terjadi huru-hara dan berkata, “Ada apa ini?”
Pengikutnya menjawab, warga Kufah telah menyerang kami pada malam hari. Mereka berdua pun terpancing dan berkata, “Kami sudah tahu kalau Ali takkan berhenti sampai mengucurkan darah dan menghalalkan yang haram dan ia takkan menyepakati kita.”
Adapun Ali ketika melihat terjadi pertempuran berkata pada pengikutnya, “Ada apa ini?”. Seorang lelaki yang memang diletakkan pemberontak di samping Ali untuk menghasut Ali berkata, “Kami tidak tahu apa-apa hingga dikejutkan pihak mereka yang menyerang kami di malam hari, maka kami membalas dari asal munculnya penyerang.”
Ali juga terpancing dan berkata, “Aku sudah tahu bahwa Thalhah dan Zubair tak ‘kan berhenti hingga mengucurkan darah sesama dan menghalalkan yang haram dan keduanya tidak menyepakati kita.”
Hingga belum lagi mencapai siang hari, pada hari kamis bulan Jumadil Tsani, perang segera berkecamuk. Ali berteriak pada orang-orang, “Hentikan pertempuran!” namun pihak Sabaiyyun selalu mencegah damai dan terus mengobarkan pertempuran. Karena tak berhasil juga, Ali memanggil Thalhah dan berkata, “Kau datang membawa istri Rasulullah berperang, sementara istrimu engkau sembunyikan di rumah?” Thalhah pun sadar, dan kemudian ia melihat sekeliling perang, ia lalu memutuskan keluar dari medan perang. Namun ketika ia hendak keluar medan, seseorang dari para pembunuh Utsman memanahnya hingga ia terbunuh. Tercapailah keinginan Abdullah bin Saba’ dkk untuk menobarkan api permusuhan.
Ali juga menjumpai Zubair di medan perang, dan berkata, “Wahai Zubair bagaimana kau memerangiku sementara kau zalim padaku?” Zubair menjawab, “Aku menzalimimu wahai Abul Hasan?”
“Ya, apa kau tidak ingat hari aku berjumpa denganmu di Madinah, ketika itu Rasulullah melihat kita, dan kau sedang melihatku Zubair, kemudian kau tertawa, kemudian Rasul bertanya mengapa engkau tertawa ya Zubair?”
Saat itu engkau berkata, “Ya Rasulullah aku menyukai Abal Hasan.” Rasulullah Saw lalu berkata, “Ya Zubair, engkau akan memerangi Ali dan ketika itu engkau zalim.”
Zubair lantas ingat hadis ini, kemudian segera menarik kudanya keluar dari medan perang. Namun Amru bin Jurmuz, salah seorang pembunuh Utsman membunuh Zubair dalam perjalanannya antara Irak dan Mekkah, saat ia sedang menunaikan salat. Amru membunuh Zubair selagi lengah kemudian segera kembali ke Irak.
Sementara itu, Aisyah ingin menghentikan perang dan menyuruh Ka’ab maju ke depan sembari membawa Kitabullah agar orang-orang mendengarnya. Namun, kubu Sabaiyyun tidak rela, dan dengan satu bidikan Ka’ab dibunuh, bahkan mereka menjatuhkan unta yang dikendarai Aisyah hingga tandunya bergoncang. Seketika itu Aisyah bersuara keras, “Ingatlah Allah, ingatlah Allah Azza wa Jalla dan hari hisab.”
Sabaiyyun masih tak rela kecuali terus melanjutkan perang. Aisyah berseru, “Wahai manusia sekalian, kutuklah pembunuh Utsman dan kelompoknya.” Seruan Aisyah kemudian didengar penduduk Bashrah. Di tengah kecamuknya perang, bersama-sama mereka melantunkan doa. Gemuruh doa segera terdengar Ali, dan bertanya, “Suara apa ini?” mereka menjawab, “Aisyah berdoa dan mereka bergabung mendoakan pembunuh Utsman dan kelompoknya.” Ali kemudian sepakat dan ikut berdoa juga, “Ya Allah, laknatlah pembunuh Utsman dan kelompoknya, (lihat: At-thabari, Tarikh Rusul, vol 4, hlm 513; Ibnu Atsir, Al-Kamil fi At-Tarikh, vol. 3 hlm 125, Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa An-Nihayah, vol. 7, hlm 264).
Kemudian Sabaiyyun bertekad membunuh Aisyah, mereka mulai menyerang tandunya. Namun Ali tanggap dan menyuruh empat puluh pemuda dari anak-anak sahabat untuk melindungi Aisyah dan berkata, “Panahlah unta Aisyah, jika terjatuh maka kelilingilah beliau. Jangan sampai seorang pun berhasil menjangkau Aisyah.” Mereka berhasil melakukan itu, kemudian selesailah pertempuran.
Inilah pertempuran terbesar sesama Muslim yang pertama yang mengakibatkan syahidnya Zubair dan Thalhah. Para sejarawan berbeda pendapat soal jumlah korban, sebagian bilang sepuluh ribu orang, setengahnya pihak Ali, setengahnya pihak Aisyah. Tapi pendapat paling banyak mengatakan, dari pihak Ali lima ribu jiwa dari pihak Aisyah tiga belas ribu jiwa.
Pertempuran ini menyisakan bekas luka yang teramat panjang. Futuhat islamiyah seketika terhenti, kaum Muslimin saling berperang, dan budaya fanatisme buta kembali mengakar setelah Islam berhasil menghilangkannya. Kaum Muslimin saling membunuh diri mereka, sementara pembunuh Utsman bertebaran menghasut dan mengoyak keutuhan barisan Muslimin. Perang ini menjadi ujian teramat besar bagi kelanjutan entitas Muslimin.
Setelah pertempuran selesai, Ali memberangkatkan Aisyah kembali ke rumahnya di Madinah. Terdapat empat puluh tentara menemani, dan dipersiapkan juga segala kendaraan tunggangan, perbekalan yang cukup, serta logistik yang melimpah. Kemudian orang-orang dan Ali mengantar kepulangan Aisyah sebagai bentuk perpisahan atas malapetaka perang. Ali juga mengutus Muhammad bin Abu Bakar, saudara Aisyah untuk menemani perjalanan kakaknya Aisyah. Dan ketika tiba di rumahnya, Aisyah sadar bahwa empat puluh tentara yang menemaninya terdiri dari kaum wanita yang dipilih Ali, sebagai bentuk penghormatan kepada istri Rasulullah. Aisyah pun berkata, “Tak ada yang bertambah padamu demi Allah wahai anak Abu Thalib kecuali kemuliaan.”
Hasan Bashri ketika ditanya soal ini menjawab, “Pertempuran yang disaksikan para sahabat Rasulullah, dan kita tak hadir di sana. Mereka labih tahu dan kita tak mengerti apa-apa. Mereka telah bersepakat, maka kita harus mengikutinya. Mereka berselisih maka kita berhenti di situ saja.”
Umar bin Abdil Aziz saat ditanya perkara Utsman dan Perang Jamal & Shiffin, ia menjawab, “Itu adalah darah yang telah Allah sucikan darinya tanganku, maka aku takkan mencampurinya (menambahkannya) dengan lisanku.”
Setelah pertempuran Jamal
Usai Perang Jamal, wilayah-wilayah besar masuk kembali ke dalam kekuasaan Daulah Islamiah. Kufah, Bashrah, Mesir, Yaman, Bahrain, Oman, Persia, Khurasan, dan Hijaz tunduk di bawah Khalifah Ali. Adapun Syam dan negeri al-Jazirah dan beberapa pesisirnya masih berada dalam kekuasaan Muawiyah yang berkeras menolak membaiat Ali. Khalifah Ali lantas memindahkan ibu kota dari Madinah ke Kufah karena di sana terdapat banyak pendukungnya dan posisnya yang dekat dengan Syam. Di sana ia pusatkan konsentrasinya menghadapi negeri Syam, sebab konflik yang tersisa tinggal antara dia dan Muawiyah. Menurut Ali, dirinya adalah khalifah yang sah dan mesti ditaati, maka Muawiyah wajib mematuhinya. Sementara alasan penolakan Muawiyah adalah meskipun Ali tidak membunuh Utsman, tapi seakan ikut melindungi pembunuh Utsman, dan Muawiyah belum rela atas semua itu.
Lalu terjadilah surat menyurat antara keduanya. Ali berkata pada Muawiyah, “Jika engkau inginkan pembunuh Utsman, maka baiatlah setelah itu aku akan berikan padamu pembunuhnya, tetapi setelah kondisi sudah stabil.” Muawiyah menjawab, “Aku tak ‘kan membaiat sampai engkau bunuh pembunuh Utsman, dan selagi itu aku tak mengakuimu sebagai amirul mukminin.”
(Bersambung)