Penulis: Indera Gunawan, Lc, M.A. (Kandidat Doktor Universitas Al-Azhar Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Anggota Majelis Tarjih PCIM Kairo)
Perang Shiffin
Akhirnya karena tak ada kata mufakat, maka perang menjadi hal yang tak terhindari. Ali menuju Syam dengan sembilan puluh ribu tentara pada akhir bulan Syawwal tahun 36 H, setelah Muawiyah tetap berkeras membangkang. Muawiyah merespon dengan tentara sebesar Ali juga dan pergi ke Irak. Keduanya bertemu di padang Shiffin. Sebelum meletus perang, keduanya masih berusaha melakukan diplomasi dengan intens berkirim surat, tapi tetap tak ada jalan keluar.
Perang pun pecah pada bulan Dzulhijjah tahun 36H lewat pertempuran kecil-kecilan, dan belum sampai perang menyeluruh. Ketika masuk bulan Muharram 37 H perang berhenti dan usaha perdamaian dicoba kembali. Ali bernegosiasi dengan Muawiyah, namun tetap saja gagal. Akhirnya perang besar pun meletus awal shafar 37 H. Pada hari ke-7 terbunuhlah Amar bin Yaser dari tentara Ali, padahal Rasulullah Saw pernah bersabda, “Amar akan terbunuh oleh kelompok Zalim”. Kematian Amar sempat membuat tentara Muawiyah goyah, namun Muawiyah menguatkan tentaranya dengan berkata, “Sesungguhnya terbunuhnya Amar diakibatkan oleh orang-orang yang bersamanya, adapun kita hanya membela diri kita.”
Begitulah perang berkecamuk lagi. Berhari-hari dengan dahsyatnya dan mencapai puncak pada malam Jum’at 10 shafar 37 H. Ketika kemenangan condong ke pihak Ali, kubu Muawiyah segera mengangkat mushaf dan berseru agar Kitabullah yang memutuskan perkara di antara mereka. Ali berkata, “Aku lebih tahu dengan apa yang terdapat di Kitabullah. Demi Allah mereka mengangkat mushaf hanya karena takut padaku, teruskan pertempuran!”, tetapi pembunuh Utsman kembali merusak barisan dan membangkang pada Ali di mana mereka minta perang dihentikan. Mereka mengancam, “Jawablah dengan Kitabullah jika kau diajak kembali kepadanya. Kalau tidak kami akan timpakan padamu sebagaimana yang kami lakukan pada Ibnu Affan.” Ali meyakinkan mereka bahwa itu adalah tipu daya, tapi mereka tetap tak peduli. Sebab kalau Ali yang menang, maka tak ada lagi hal yang menyibukkan kaum Muslimin dan perhatian segera tertuju pada kasus mereka.
Bahkan pemberontak juga menekan Ali untuk memilih wakil juru runding sesuai permintaan mereka. Awalnya Ali memilih Abdullah bin Abbas, namun ditolak, kemudian Ali memilih panglimanya al-Asytar an-Nakh’iy, namun ditolak juga. Mereka menuntut supaya Abu Musa al-Asy’ary yang menjadi utusan. Sementara itu, kubu Muawiyah memilih Amru bin Ash. Lalu, disepakati untuk mengadakan tahkim (arbitrase) antara kedua pihak yang bertikai. Mereka berdua nantinya mencoba melakukan tahkim dengan kembali pada Kitabullah.
Perang pun dihentikan. Kedua hakim mengambil saksi-saksi dan menuliskan kesaksiannya di dalam kertas. Kemudian keduanya sepakat bertemu di bulan Ramadhan di tahun itu juga di Dumatil Jandal, setengah jarak antar Syam dan Irak. Masing-masing mengutus empat ratus orang pengikutnya sebagai saksi. Demikianlah berakhir Perang Shiffin, ada yang mengatakan korban perang berjumlah tujuh puluh ribu, dari tentara Syam empat puluh lima ribu dan pasukan Irak dua puluh lima ribu, dan yang gugur dari sahabat Perang Badar sebanyak dua puluh lima orang.
Al-Khawarij
Setelah diterimanya usul penyelesaian konflik dengan tahkim, fitnah datang lagi. Kubu Sabaiyyun tiba-tiba keluar dari barisan Ali hingga dinamakan dengan al-khawarij. Mereka memerangi Ali sebab mau menerima tahkim. Seruan mereka yang sangat terkenal: “La hukma llallah”. Meskipun merekalah yang sejak awal mendesak Ali untuk menerima tahkim, padahal Ali tak mau hingga terpaksa menuruti kemauan mereka. Kaum Khawarij beralasan mereka telah bersikap salah menyetujui tahkim dan menyesal. Mereka juga menuntut Ali untuk bertobat sebagaimana mereka juga telah bertobat.
Ketika pulang dari Perang Shiffin, mereka memisahkan diri dan tak mau masuk ke Kufah. Selanjutnya mereka bermarkas di Harura, sebuah kampung di ujung Kufah berjarak sekitar dua mil. Jumlah mereka mencapai dua belas ribu, karena itu dinamakan juga Haruriyah.
Ali mengutus Abdullah bin Abbas untuk mendebat mereka, lalu Ali pergi juga menemui mereka untuk memberi nasihat. Rupanya mereka mau juga kembali ke Kufah dan ke pangkuan Ali, namun demikian hati mereka masih belum menerima sepenuhnya. Mereka berkeras menuntut Ali untuk tidak mematuhi tahkim, tetapi Ali tak mau ingkar janji pada kesepakatan. Mereka akhirnya membangkang dan berseru: Tiada hukum kecuali hukum Allah.
Pertemuan dua hakim di Dumatil Jandal
Amru bin Ash dan Abu Musa al-Asy’ari lalu bertemu. Para sejarawan berbeda pendapat tentang hasil dari tahkim. Satu riwayat menyebutkan bahwa mereka belum mencapai kesepakatan dan keduanya kembali tanpa hasil. Riwayat lainnya mengatakan bahwa mereka sepakat menurunkan Muawiyah dan Ali, dan setelahnya para pembesar sahabat yang memutuskan siapa yang berhak menjadi khalifah. Sedangkan riwayat yang mengatakan Abu Musa al-Asy’ari berlaku lengah dan lalai, sedangkan Amru bin Ash berbuat curang dan licik itu, fakta itu tidaklah berdasar.
Ali dan Khawarij
Khawairj tak mau mengakui Ali maupun Muawiyah. Mereka mengangkat Abdullah bin Wahb ar-Rasiby sebagai pemimpin mereka. Adapun Ali telah menjelaskan posisinya, ”Jika mereka diam kita akan tinggalkan, jika mereka bicara kita akan balas dengan hujjah, jika mereka keluar memerangi kita, maka kita perangi juga.”
Pada dasarnya Ali tak mau menggubris Khawarij, sebab ingin memusatkan perhatian pada Muawiyah saja. Namun Khawarij membuat kerusakan yang tak bisa ditoleransi dengan membunuh Abdullah bin Khabab bin al-Art. Mereka berjumpa dengan Abdullah, dan saat itu di pundaknya tergantung mushaf sementara istrinya sedang mengandung. Mereka bertanya padanya tentang Ali, Abdullah menjawab dengan kagum dan memuji Ali. Mereka berkata marah, “Sesungguhnya al-Qur’an yang ada di lehermu telah menyuruh kami membunuhmu karena kau memihak Ali.” Adapun Ali dalam pandangan mereka adalah kafir. Kemudian mereka menyembelihnya bahkan membelah perut istrinya. Ali lantas menuntut pelaku pembunuhan keji itu, namun mereka menolak keras dan malah menjawab mereka semua turut-serta melakukannya.
Ali memutuskan untuk memerangi mereka. Sebelumnya Ali menasehati mereka dahulu, di mana sebagian besar mau kembali ke jalan yang benar, namun sebagian lagi menolak. Ali lantas memerangi mereka yang dinamakan dengan Perang Nahrawan tahun 38 H, yang berakhir dengan kemenangan di pihak Ali.
Detik-detik terakhir periode Ali
Setelah perang Nahrawan, Ali bersiap-siap pergi ke Syam untuk memerangi Muawiyah, namun tentaranya mengelabuinya. Mereka enggan dan jenuh berperang, perlahan-lahan banyak yang mundur dan kembali dari markas militernya di Kufah sana. Sampai suatu ketika Ali selesai shalat Subuh dan melihat barisan di belakanganya hanya ada sekitar seribu orang. Sementara itu Muawiyah justru berhasil merebut daerah-daerah yang dikuasai Ali, seperti Mesir, Hijaz, dan Yaman, sementara Ali hanya sebatas Irak dan Persia.
Terbunuhnya Ali
Di saat Ali masih sibuk menyatukan pasukannya, mereka pengikut Khawarij yang merasa tersakiti pada Perang Nahrawan melakukan makar. Menurut mereka, sebab kehancuran umat disebabkan oleh Ali, Muawiyah, dan Amru bin Ash. Oleh karenanya ketiganya harus dilenyapkan. Bersepakatlah Abdurrahman bin Muljam membunuh Ali, Burak bin Abdullah membunuh Muawiyah, dan Amru bin Bakr at-Tamimy membunuh Amru bin Ash. Pelaksanaannya serentak pada shalat Subuh 17 Ramadhan 40 H. Sebelum Abdurrahman bin Muljam menunaikan tugasnya, ia bertemu dengan gadis cantik bernama Qattham binti Syajinah yang mendendam terhadap Ali akibat Perang Nahrawan. Oleh Qattham, Abdurrahman disyaratkan mahar berupa tiga ribu dinar, budak, dan membunuh Ali, jika ingin menikah dengannya.
Abdurrahman berhasil melakukan tugasnya. Sementara itu Muawiyah hanya terluka kecil dan sembuh tak beberapa lama setelahnya, sedangkan Amru bin Ash pada hari itu tidak shalat karena sakit dan digantikan pengawalnya Kharijah bin Huzafah, sehingga Kharijah yang menjadi korban. Dikatakan pembunuhnya, “Yang kuhendaki adalah Amru namun Allah menghendaki Kharijah”. Ali sendiri terluka parah dengan pedang beracun kemudian meninggal dunia dua hari setelah penusukan di Masjid Kufah.
Selanjutnya Ali dimandikan Hasan, Husein, dan Abdullah bin Ja’far kemudian dikafani. Adapun letak kuburannya terdapat banyak versi, ada yang bilang dikubur di Kufah, kemudian dipindah anak-anaknya ke Madinah dan dikuburkan di samping Fathimah. Riwayat lain mengatakan, ketika iring-iringan kafilah tengah membawa jenazah Ali, tiba-tiba dirampok oleh penjarah yang mengira harta niaga. Dan saat dibuka hanya berisi jenazah, maka dikuburkan dekat gunung Thay.
Setelah kematian Ali, beberapa pengikut Syiah membaiat Hasan bin Ali. Namun ketika panglimanya Qais bin Sa’d bin Ubadah terbunuh, orang-orang Irak meninggalkan Hasan, bahkan merampas harta bendanya. Hasan bersikap lembut dan takut akan berlarutnya pertumpahan darah Muslimin. Ia sudah melewati berbagai momen saat menemani perjuangan ayahnya. Benarlah kata Rasulullah tentang Hasan, “Wahai manusia, sesungguhnya anakku ini adalah tuan penghulu, dan melaluinya semoga Allah kelak akan mendamaikan dua kubu Muslimin.” (HR Bukhari, kitab fadhail shahabah, bab manqib al-hasan wal husein Ra).
Hasan kemudian saling berkirim surat dengan Muawiyah demi maslahat umat. Ia menawarkan beberapa syarat dan rela membaiat Muawiyah sebagai khalifah. Selanjutnya terjalin kesepakatan keduanya di Kufah pada bulan Rabiul Awal 41 H. Tahun itu disebut juga Amul Jamaah atau tahun persatuan. Muawiyah kembali ke Damaskus membentuk kekhalifahan Umayah dan Hasan kembali ke Madinah hingga meninggalnya tahun 50 atau 51 H.