Sejarah Singkat Ilmu Mantiq

Syaih Rais Ibnu Sina adalah ulama ensiklopedis yang dimiliki ummat ini. Beliau pakar filsafat, mantik, kedokteran, falak dan juga musik. Beliau banyak meninggalkan karya yang

Admin

[addtoany]

Tanda Tanya

Syaih Rais Ibnu Sina adalah ulama ensiklopedis yang dimiliki ummat ini. Beliau pakar filsafat, mantik, kedokteran, falak dan juga musik. Beliau banyak meninggalkan karya yang sangat bermanfaat bagi umat manusia.

Di antara buku karyanya adalah Kitabul Mantiq yang terdiri dari 3 jilid besar. Dalam buku ini, beliau banyak menguraikan ilmu logika dengan sangat detail. Buku ini menjadi landasan filosofis buku-buku filsafatnya.

Kitabul mantik sangat kental dengan pemikiran filsafat Yunani. Mantik dalam buku ini masih menjadi satu kesatuan dengan filsafat Arestoteles, termasuk terkait dengan bahasan al-jauhar dan al ilat al ula. Dari dua terma tadi, akan berimplikasi pada pandangan para filsuf terhadap bahasan alam mrtafidi (ما بعد الطبعة)

Pandangan illat ma’lul akan berimplikasi pendapat yang mengatakan bahwa alam raya sifatnya qadim. Pendapat yang mengatakan bahwa Tuhan adalah jauhar, dianggap telah membendakan Tuhan meski jauhar yang dimaksudkan oleh para filsuf tadi adalah jauhar lathif (halus dan tak terindra) dan bukan katfif (benda terindra). Karena pada dasarnya Tuhan tidak serupa dengan apapun.

Barangkali dengan mantik model Aresto ini yang masih menyatu dengan bahasan filsafat maka sebagian ulama seperti Imam Nawawi dan Ibnu Shalah mengharamkan ilmu mantik. Al-Ghazali pun harus bersusah payah untuk “mendekonstruksi” berbagai peristilahan mantik agar tidak terkesan terlalo Arestoteles.

Al-Ghazali sangat keras melawan filsafat Aresto karena banyak bahasan yang menurutnya dapat menjurus kepada kekafiran. Anggapan alam qadim karena implikasi teori ilat ma’lul itu, menjadi satu dari 17 hal yang dianggap kafir seperti yang beliau tulis dalam karyanya At-Tahafut Al-Falasifah.

Para ulama kalam mencoba untuk membersihkan mantik dari filsafat sehingga mantik sekadar menjadi ilmu alat untuk berfikir logis dan benar. Ilmu mantik bukan lagi menjadi pijakan dasar untuk menjadi Aresto atau berpaham filsafat Yunan.

Ilmu mantik menjadi dasar berfikir logis dan teratur. Para ulama nampaknya sangat menyadari tentang urgensi mantik ini. Maka mantik dijadikan mukadimah keilmuan Islam yang sangat rasional seperti halnya Ilmu Kalam dan Ilmu Ushul Fikih.

Para ulama Islam berlomba-lomba menulis ilmu mantik dengan berbagai level bahasan, dari yang sangat detail hingga sederhana. Tidak ketinggalan salah seorang ulama nusantara yg dijuluki sebagai musniduddunya, karena beliau dianggap pemilik rawi hadis terkuat di zamannya. Beliau adalah Syaikh Yasin al-Fadani dalam bukunya Ilmu Mantiq.

Gaya mantiq Aresto seperti Kitabul Mantiq karya Syaikh Rais Ibnu Sina ini juga dilawan oleh Ibnu Taimiyah dengan dua bukunya yang sangat ternama yaitu Ar-Raddu alal Mantiqiyyin dan Dar’ul Mantiq. Lalu Ibnu Taimiyah memperkuat dengan melawan filsafat Ibnu Sina dalam bukunya Dar’u Taarrudi al Aqli wa Annaqli.

Ibnu taimiyah sangat serius melawan filsafat Ibnu sina ini. Tidak tanggung-tanggung, buku yang menolak mantiq Ibnu Sina tadi ditulis hingga 11 jilid.

Di dunia pemikiran Islam, Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah sering berseberangan. Namun dalam posisi menolak mantik Yunan dan paham filsafat Aresto, mereka satu barisan dan bukunya sama-sama sangat tajam.

Satu pemikiran, akan muncul pemikiran lain, lalu tumbuh berkembang pemikiran ketiga yang berbeda. Proses dialektika pemikiran selalu muncul. Begitu pula yang terjadi dalam pemikiran Islam. Antara Syaikh Rais Ibnu Sina di satu sisi, Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah di sisi lain, ada pemikiran lain yang mencoba untuk “klarifikasi” atas tudingan para ulama kalam. Ia dianggap titik kompromi, namun menjadi pemikiran independen. Beliau adalah ulama besar Andalusia, pakar filsafat dan fikih. Beliau adalah Ibnu Rusyd.

Dari sisi masa sesungguhnya Al-Ghazali dan Ibnu Sina hidup terlebih dahulu, lalu Al-Ghazali yang melawan pendapat Ibnu Sina, lalu Ibnu Rusyd mengklarifikasi, lalu Ibnu Tayyimiyah yang kembali melawan pikiran Ibnu Sina. Hanya untuk memudahkan, kami tidak menulis berdasarkan urutan sejarah. (Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc., M.M.)

Related Post